Sabtu, 13 Agustus 2011

Pelayanan Pekerja Sosial terhadap Gay yang Terinfeksi HIV/AIDS

Pelayanan Pekerja Sosial terhadap Gay yang Terinfeksi HIV/AIDS

(CHAPTER 2, Bob and Phil by Joan M. Borst)

BAB I

Pendahuluan

Rumah sakit tidak lagi menjadi konsumsi peran dokter dalam prakteknya, namun juga telah menjadi peran banyak bidang-bidang baru yang muncul seiring kompleksnya masalah yang mengiringi manusia dan penyakitnya. Dalam hal ini, Dr. Richard Cabot melihat bahwa efektivitas pengobatan lebih meningkat bila melibatkan pekerja sosial, karena mereka dapat menolong pasien yang memiliki masalah individual dan keluarga. Dengan fungsi dan peranan profesi pekerjaan sosial di rumah sakit, maka bagi pihak yang bekerja di rumah sakit yang khusus menangani masalah sosial emosional yang berkaitan dengan sakit dan pengobatannya dinamakan pekerja sosial medis (medical social work).

Pekerja sosial selain dibutuhkan di rumah sakit, juga dibutuhkan pada program pelayanan kesehatan masyarakat. Sesuai dengan perkembangan ilmu, istilah pekerjaan sosial medis (medical social work) kemudian berubah menjadi pekerjaan sosial dalam program kesehatan masyarakat (social work in public health). Kebutuhan akan pelayanan sosial dari para pekerja sosial medis di bidang kesehatan, semakin dapat diterima masyarakat luas, terutama di negara-negara maju. Hal ini didorong oleh kesadaran masyarakat bahwa permasalahan penyakit dan kesehatan manusia bukan hanya menyangkut aspek biofisik tetapi menyangkut aspek penting lainnya termasuk ekonomi, sosial, dan emosional.

Dewasa ini, peran pekerja sosial di lingkungan medis sangatlah variatif. Hal ini didasari pada banyaknya masalah sosial yang timbul akibat dari berbagai factor, diantaranya adalah masalah obat-obatan, hubungan seks bebas, pengaruh lingkungan, dsb.

Brach dan Specht (1999) menjelaskan asumsi-asumsi dasar pentingnya pekerjaan sosial di bidang kesehatan, yaitu:

1. Status kesehatan masyarakat

2. Pola-pola penyakit dan reaksi orang terhadap penyakit sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, budaya dan ekonomi, lingkungan keluarga dan sosialnya.

3. Sakit dan penyakit sangat terkait dengan perilaku manusia, baik yang nyata atau yang dirasakan.

Sedangkan tujuan Pekerjaan Sosial Medis ialah:

1. meningkatkan dan memperbaiki kemampuan orang sakit dalam memecahkan masalah sosial emosional yang berhubungan dengan sakit dan penyakit yang diderita pasien dan keluarganya.

2. Menghubungkan dan mengkaitkan pasien dengan sistem sumber yang dibutuhkannya.

3. Meningkatkan efektivitas pelayanan berbagai sistem sumber pelayanan kesehatan.

4. Mensosialisasikan kebijakan yang berkaitan dengan sistem pelayanan kesehatan.

5. Memberikan sumbangan bagi perubahan kebijakan di bidang kesehatan.

6. Memberikanpelayanansebagai pelaksanaankontrol sosial

Menyangkut pengertian-pengertian diatas, kami akan memaparkan contoh kasus masalah sosial kompleks yang menjadi lahan garapan pekerjaan sosial medis dalam hal ini mengenai “Kasus gay dan HIV/AIDS serta peran pekerja sosial”.

Penyakit HIV

HIV adalah virus manusia yang pertama muncul di Amerika pada awal 1980-an. (Averitt, 2000). HIV/AIDS utamanya menakutkan karena orang-orang sekarat saat itu hanya tahu sedikit tentang penyakit HIV. Dibutuhkan waktu bagi peneliti untuk mempelajari sebab penyakit ini, bagaimana cara penyakit ini menyebar, dan cara menolong masyarakat tetap aman dari infeksi. Banyak masyarakat yang lega melalui kepercayaan bahwa HIV dan AIDS hanya terjadi pada gay. Asumsi yang salah ini menjadi dasar bias, ketakutan, dan kebencian terhadap gay. Bersandar pada kepentingan setempat serta upaya nasional yang dibutuhkan untuk mengerti tentang HIV/AIDS dan mencegahnya untuk menyebar.juga merupakan tanggungjawab politik dari pemerintah Amerika untuk membuat kebijakan penelitian dan pengobatan HIV/AIDS.

Sampai saat heteroseksual dan orang-orang terkenal (seperti Rock Hudson) mulai terkena HIV, maka mulailah ada keinginan untuk mengerti dan menghindari penyakit dalam skala luas. Dimulai dari usaha Dr. C. Everett Koops, seorang ahli bedah umum Amerika pada tahun 1980-an, penelti dan publik segera menyadari bahwa HIV/AIDS lebih dari sekedar penyakit gay. Sampai akhir 1980-an, telah banyak yang mengetahui bahwa HIV menyebar melalui kontak darah baik dengan transfusi darah, ASI, dan kontak seksual yang menyangkut pertukaran cairan tubuh. HIV/AIDS menghilangkan system kekebalan tubuh manusia, mengakibatkan orang tersebut gampang terinfeksi oleh penyakit. Yakni, orang-orang tidak mati melalui AIDS, tapi dari penyakit yang disebabkan AIDS seperti kangker dan pneumonia. Setiap orang sampai sekarang mengetahui betapa menyakitkan, kerusakan, dan kematian yang dapat ditimbulkan oleh AIDS. HIV sesungguhnya adalah penyakit yang menakutkan.

Sementara itu, infeksi HIV telah muncul di setiap populasi, sekarang ini, beberapa populasi terus berada pada resiko besar inveksi AIDS dibanding yang lainnya. Orang-orang (laki-laki, wanita, gay/lesbian ataupun heteroseksual) yang melakukan hubungan seks tanpa pelindung dengan pasangan yang beragam dan/atau pengguna obat-obatan dan pasangan seks mereka berada pada resiko terbesar infeksi HIV. Sementara itu, pengobatan-pengobatan yang kuat dan efektif untuk memperpanjang umur penderita HIV tersedia bagi bebererapa orang, namun banyak pula yang tidak dapat mengakses pengobatan tersebut karena miskin dan/ atau kurangnya akses terhadap pelayanan medis. Bagaimanapun juga, tidak ada obat untuk HIV, dari hasil medis yang terjadi, kebanyakan dokter dan ahli sekarang menjadikan HIV sebagai penyakit kronis dan tidak menjamin, kematian jangka pendek (Holt, Houg, & Romano, 1999). Hal ini kurang adil untuk penderita HIV-positif yang miskin, tanpa pelayanan medis, atau tinggal di Negara-negara miskin di seluruh dunia. Bagi mereka, terinfeksi HIV berarti kematian yang sangat sakit dan pasti.

Berawal di akhir 1980-an dan awal 1990-an, grup advokat memulai melakukan penelitian dan penyembuhan, merubah kebijakan sosial dan opini publik, dan keinginan dan komitmen terhadap penyakit dan orang-orang yang terkena HIV. Kelompok ini juga ingin mengakhiri diskriminasi dan stigma-stigma negatif mengenai HIV/AIDS. Selama bertahun-tahun, publik lebih memberi dukungan terhadap pengidap HIV melalui transfusi darah ketimbang melalui sex, obat-obatan, dll. Masih, orang-orang ini menghadapi diskriminasi. Untuk beberapa lama, HIV/AIDS telah menjadi debat moral dan politik dibanding mengurusi crisis kesehatan. Bahkan sampai sekarang, banyak orang masih percaya bahwa HIV/AIDS adalah “cara Tuhan” menghukum orang-orang yang “berdosa”.

HIV/AIDS

Dalam satu hal atau lainnya, HIV (Human Immunodeficiency Virus) memberikan efek hampir kepada semua orang. Jika kamu tidak terjangkit HIV, mungkin kamu mengenal seseorang dengan HIV. Jika kamu tak mengenal satu pun orang dengan HIV, kamu mungkin tahu seseorang yang sudah terkena penyakit tersebut. HIV bukan lagi sebuah penyakit yang memberikan efek terhadap “orang-orang” tersebut. Orang-orang dengan HIV-positif tinggal dan bekerja di tiap-tiap komunitas dan pada setiap level dan strata social Amerika. Hadir pada tiap-tiap situasi dan banyak Negara. Oleh karena itu, pekerja social harus siap bekerja dengan orang-orang yang terinfeksi HIV. Lebih lanjut, karena HIV mengarah kepada AIDS, maka profesi kita harus bersama-sama orang-orang yang berada di garis depan dalam menolong orang yang terjangkit pada semua tahap dan orang-orang yang dekat dengan penderita.

Dalam praktik lapangan HIV/AIDS, pekerja social membantu kelayen belajar mengatasi masalahnya dengan diagnosa dari penyakit kronis ini dan menghubungkan pada dukungan yang dibutuhkan serta pelayanan-pelayanan medis dalam komunitas mereka. Sebagai penyakit kronis dan mudah menyebar, HIV menantang pasien dan orang yang dicintainya pada setiap level yang dapat dibayangkan: secara spiritual, fisik, emosional, dan finansial. Walaupun sekarang ada teknik medis untuk memperpanjang usia dari pengidap HIV-positif, HIV tetap merupakan sebuah penyakit kronis dan sangat fatal. Oleh karena itu, orang yang hidup dengan HIV menghadapi banyak tantangan jangka pendek maupun jangka panjang.

Seperti pada tiap-tiap setting medis, pekerja social harus mempelajari tentang penyakit jika mereka berharap untuk menolong orang-orang menghadapi krisis jangka pendek maupun jangka panjang. Karena kelayen akan selalu lebih tahu tentang pengalaman mereka (bukan tentang kebutuhan penyakit) daripada praktisi, maka kita harus mengetahui “dasar-dasar” tentang penyakit-penyakit. Praktisi tidak dapat mengharapkan kelayen mengajarkan mereka tentang HIV. Apa yang klien butuhkan adalah untuk menjadi seorang klien, mengungkapkan perasaan-perasaannya, dan belajar untuk mengatasinya dengan perubahan kehidupan. Kita memiliki tanggungjawab untuk mempelajari segala yang kita mampu tentang HIV dan keunikan emosional, fisik, spiritual, dan sosial yang diakibatkannya. (Holt, Houg, & Romano, 1999).

BAB II

Isi

Bob and Phil

Oleh Joan M. Borst

Saya pertama kali bertemu Bob di klinik local HIV/AIDS. beberapa saat setelah dia menyadari bahwa sahabatnya, berada pada tahap akhir HIV. Saat itu sangat jelas terlihat Phil tak akan hidup lama, dan Bob berada pada krisis yang signifikan. Kasus ini mulai terjadi ketika obat-obatan AIDS saat itu belum tersedia, membuat suatu diagnosa terhadap HIV dan AIDS (certain and relatively quick death sentences). Sebagaimana yang akan Anda baca, saya menghabiskan bertahun-tahun di garis depan berhadapan dengan (disease) dan kerusakan yang ditimbulkannya terhadap orang-orang yang terjangkit, bersama keluarga mereka, teman-teman, dan orang-orang yang mereka cinta. Studi kasus berikut (examines) HIV/AIDS dan efek kerusakan pada manusia dan komunitas mereka.

Bob dan Phil: Presentasi kelayen

Bob saat itu berusia 32 tahun, atraktif, dan berpakaian menyolok sebagai seorang lelaki gay berkulit putih. Dia tumbuh di keluarga menengah-kebawah bersama ibu, ayah, dan ketiga saudaranya (satu saudara lelaki dan dua saudara perempuan). Sekitar sepuluh tahun kemudian, Bob dan Phil bertemu dan saling jatuh cinta. Tak lama, mereka pun tinggal bersama sebagai seorang pasangan. Hal ini menimbulkan sebuah celah yang signifikan antara mereka dan keluarga mereka. Bagaimanapun juga, mereka saat itu masih muda, gembira, cukup mapan, dan saling jatuh cinta. Masa depan mereka sangat cerah dan penuh dengan janji dan harapan walaupun terdapat masalah-masalah pada keluarga dan orang-orang yang berpikir bahwa mereka “orang yang berdosa” karena menjadi gay.

Bob dan Phil menikmati gaya hidup mereka yang nyaman. Mereka punya pekerjaan dan pendapatan yang baik. Phil seorang guru SMA selama 20 tahun dan Bob bekerja di bagian manajemen untuk perusahaan pengolahan local. Meskipun setiap waktu bersama dan kualitas hidup yang baik, seperti pasangan lain, Bob dan Phil pisah 2 kali selama 10 tahun berhubungan. Ketika mereka cerai, Bob sering keluar dari rumah. Perpishan pertama berlangsung kurang lebih satu bulan, dan yang kedua selama dua bulan. Walaupun mereka berpisah, Bob selalu tahu bahwa mereka suatu saat akan kembali lagi bersama, seperti yang mereka lakukan setiap waktu. Karena merasa yakin akan hubungan mereka, Bob tidak pernah berkencan dengan pria lain saat mereka pisah. Dia yakin bahwa Phil juga mempertahankan komitmen yang sama dengannya. Mereka baru saja pindah ke wilayah setempat setelah perusahaannya memindahkan Bob.

Bob adalah seorang manajer yang sangat sukses pada bisnis pengolahan setempat. Dia telah bekerja pada perusahaan itu selama 12 tahun, kokoh menjaddi manajer. anak buah dan atasannya menghargai etika dan kinerja Bob. Dia secara rutin bekerja 60 jam tiap minggu, mengawasi empat pegawai, mengkampayekan langsung penjualan berbasis multi-level, dan mengadministrasi pendapatan $500,000. Dia merupakan aset yang sangat berharga bagi perusahaannya.

Pertama kali aku bertemu Bob pada sebuah klinik local HIV. Saya menjadi konselor utamanya pada hari saat Bob mengatakan “hari terburuk dalam hidupku”. Bekerja pada lapangan ini, saya sering bertemu orang-orang yang berada pada keadaan yang cukup menakutkan. Sementara kasus Bob unik dan bahwa Bob dan Phil adalah individu yang unik., saya telah melihat banyak sakit hati dan penghianatan di masa lalu. Oleh karena itu, kasus mereka sering terjadi pada lapangan pekerjaan ini.

Praktik Lapanganku

Saya bekerja bersama Bob dan Phil dalam peranku sebagai pekerja sosial pada klinik local yang memiliki spesialisasi pada penyembuhan medis dan sosial mengenai HIV/AIDS. Klinik kami dibuka pada akhir 1980-an, sebagian didanai melalui “Ryan White Care act.”, juga melalui Negara, dana local, dan rumah sakit privat local. Tiap tahun, pendanaan kami ditujukan untuk pengobatan dasar, tapi tak pernah cukup untuk menyediakan layanan komprehensif yang dibutuhkan oleh populasi ini. Pendanaan lebih sering ditujukan pada keinginan politis. Kurangnya pendanaan ini karena karena tingkah laku dan kepercayaan masyarakat tentang gay dan penyakit HIV/AIDS.

Personil medis, spesialis penyekit infeksi, perawat terdaftar, dan pekerja sosial (saya) adalah staff klinik. Tambahan, klinik juga menyediakan pencegahan secara komunitas dan edukasi bersama-sama dengan pelayanan rumah. Kami juga bekerja sama dengan para relawan untuk menyediakan pelayanan kepada banyak klien dan keluarga mereka. Klinik ini didesain sebagai one-stop shoppinguntuk individu positif HIV dan orang yang mereka cintai. Bahwa kami menghubungkan kelayen dan orang yang mereka cntai melalui layanan yang dimiliki dan mendukung kebutuhan mereka melalui klinik HIV/AIDS. Jika klinik tidak dapat menyediakan layanan tersebut, maka para staff mencari tahu organisasi yang dapat menyediakannya dan memastikan kelayen mendapatkan akses.

Lingkungan diperlukan untuk menormalkan diagnosa HIV beserta emosi-emosi, stigma-stigma, dan masalah yang terasosiasi dengan penyakit ini, khusunya pada iklik politik di lingkungan kami yang konservatif. Kllinik memiliki kurang lebih 400 klien HIV kelayen saat ini; beberapa telah menuju AIDS. kebanyakan kelayennya merupakan gay.

Kontrak Kelayen

Pertama kali saya bertemu Bob saat pertemuan darurat di klinik. Salah seorang dari suster kami dating ke kantorku dan memintaku untuk ikut pada pertemuan darurat dengan seorang pasien baru dan pasangannya. Dalam peranku di klinik, saya terbiasa pada pertemuan semacam ini. Ketika seseorang telah didiagnosa HIV, adalah pekerjaanku untuk mengatakan kepada mereka. Saya juga bertanggungjawab untuk konseling krisis, tergantung pada bagaimana reaksi kelayen terhadap berita tersebut. Sehari sebelumnya, seorang dokter memasukkan seorang gay ke rumah sakit akibat sakit kepala yang tak dapat ditolerir. Pihak rumah sakit meminta spesialis penyakit infeksi kami untuk berkonsultasi. Mereka segera mengetahui bahwa dia telah berada pada tahap terakhir HIV dan telah memasuki tahap AIDS. disanalah saat aku bertemu Phil dan Bob. Sakit kepala Phil diakibatkan oleh penyakit oportunistik, infeksi otak yang jarang ditemukan dan sangat tidak baik buatnya.

Saat saya memasuki ruang pemeriksaan, Phil terlihat sangat sakit. Dia berada diatas meja pemeriksaan dengan mata tertutup. Bob saat itu berada di sudut ruangan, menangis. Dokter klinik kami mengatakan kepada Phil tentang pilihan pengobatan untuk mengurangi rasa sakit, tapi tak satupun dari mereka mendengarkan. Karena dokternya berbicara kepada Phil, maka saya menuju ke Bob. Dokter mengatakan kepada Bob untuk segera melakukan pengetesan HIV, karena mereka berdua telah lama menjadi pasangan seks. Saya menyentuh pundak Bob dan menanyakannya apakah dia bisa dating ke kantorku untuk minum. Dalam keadaan shock, tidak benar-benar mengerti tentang apa yang terjadi, Bob berjalan ke arah saya, hampir terjatuh di lantai. Saya menjaga keseimbangannya dan mengarahkannya ke kantorku dan mengatakan kepada Phil dan yang lain kami akan segera kembali. Saya bahkan tak yakin apakah Phil melihatku. Dia mengikutiku turun melalui ruang utama menuju kantorku dalam keadaan pusing, seolah-olah dia telah kehilangan semua penyangga hidupnya. Dalam kenyataannya memang.

Bob duduk di kantorku, dan saya menggunakan waktu untuk mengambilkannya air minum sambil memikirkan apa yang akan kulakukan kemudian dan juga untuk menenangkan diriku. Bahkan setelah beberapa tahun pada pekerjan ini dan berbagai pertemuan dimana kelayen mengethui diagnosa mereka, momen ini tetap saja tidak menjadi semakin mudah. Phil sudah tahu bahwa dia juga akan mati: Bob mengetahui bahwa pasangan gidupnya juga akan mati, dan bahwa dia juga, mungkin telah teridap HIV, jika bukan maka AIDS. tidak ada lagi yang lebih berat dibanding saat itu. Sangat jelas bahwa Bob dan Phil berada pada krisis. Walaupun saya tidak mengetahui percakapan mereka dan tidak melihat catatan medis, diagnosanya secara jelas memperlihatkannya secara mengejutkan. Mereka datang dengan keluhan sakit kepala dan berakhir dengan diagnosa HIV/ADIS.

Dengan tenang saya memasuki kantorku kembali dan menawarkan minum kepada Bob. Dia memegang gelasnya dan menggumamterima kasih”. Dia terlihat pusing. saya duduk disampingnya dan menaruh tanganku di atas pundaknya dan berharap dia mungkin akan merasa nyaman dengan sentuhanku. Dia harus tahu kalau seseorang mengerti dan peduli dengan masalahnya. Dengan tenang saya memberi tahu Bob betapa menyesalnya aku tentang kejadian di luar-kendali yang terjadi di sekelilingnya. Saya ingin diam dan tenang untuk menirunkan stimulan pada lingkungan Bob. Saya katakan untuk tidak terburu-buru melakukan tes sampai dia siap. Bob mulai tangis dan bertanya, “sekarang apa yang harus kulakukan?” dia sedang tidak mencari jawaban; dia mencari sesuatu yang pasti bahwa hidup yang telah direncanakannya berada di luar kontrol. Pada level yang paling fundamental, Bob tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya-berjalan, tidur, menangis, berteriak, ataupun makan.

Saya permisi padanya untuk berbicara dengan dokter dan perawat mengenai rencana mereka. Saya kembali ke ruang pemeriksaan dan mendengarkan sampai akhir semua instruksi dokter kepada perawat dan Phil. Saya mengatakan kepada mereka kalu Bob berada di kantorku dan akan kembali nanti. Phil menganggukkan kepalanya menandakan bahwa dia mendengarkan.

Perawat dan saya berjalan keluar dari kantor dan setuju untuk bertemu Bob dan Phil me-review rencana mereka secepatnya. Kami setuju untuk mendiskusikan sebuah rencana 24 jam kedepan. Mereka cukup banyak masalah malam ini. Mereka setuju untuk bertemu beberapa teman mereka, dan menghubungi lainnya yang tekena HIV untuk mengadakan pertemuan di rumah mereka nanti malam. Mereka mulai mencari dukungan-dukungan. Sangatlah membantu ketika mereka tahu orang-orang yang melalui hal yang sama dengan penyakit HIV/AIDS. karena mereka baru saja pindah ke sini, jaringan teman-teman mereka dan orang-orang yang mendukung mereka begitu kecil. Setelah menyelesaikan pertemuan ini, kita semua merencanakan sebuah pertemuan di rumah Bob dan Phil hari berikutnya.

Aspek Psikologi dari HIV/AIDS

HIV/AIDS membawa banyak masalah psikologi yang membutuhkan perhatian oleh praktisi pekerja sosial (Wright, 2000). Dibawah ini, saya mendiskusikan masalah yang telah banyak saya lihat selama bertahun-tahun, ones that practitioners must attend during the period immediately following a new HIV diagnosis. Saya tidak bermaksud bahwa ini adalah daftar eksklusif, hanya masalah yang saya anggap sangat kritis untuk diberitakan dalam proses dengan kelayen.

Hubungan dan Kekraban

Selain nyawa, diagnsis HIV/AIDS mengikutkan dan sering mengubah hubungan personal kelayen. Hal ini sangatlah nyata terhadap keluarga mereka, saudara, teman-teman, dan orang yang mereka cintai. Setelah didiagnosa dengan penyakit ini, hanya sedikit yang tetap sama di hidup mereka, ataupun tinggal dengan orang yang meraka cintai dan teman-teman mereka.

Mungkin perubahan hubungan yang sangat signifikan yang terjadi pada kelayen adalah hubungan seksual dengan pasangan mereka. Dapat dimengerti, ketakutan pada penolakan dan kekhawatiran menginfeksi orang lain. Hal ini harus didiskusikan lebih awal dan sering dengan kerja keras terhadap kelayen HIV. Kebanyakan adalah diskusi mengenai ketakuatan kelayen dan mengajarkan tentang tanggungjawab baru dan serius untuk melindungi lainnya dari infeksi. Saya menyarankan kelayen untuk membuka diri ketika mereka bertemu dengan orang yang mungkin akan mereka cintai. Atau menunggu untuk membuka ketika memutuskan untuk melakukan hubungan intim dengan orang lain. Cara lain, saya terus-menerus menitikberatkan pada perintah legal, moral, dan kemanusiaan untuk membeitahukan keadaannya kepada pasangan yang potensial maupun yang ada saat ini. Juga mereka sering menanyakan tentang cara memberitahu orang yang dulu mereka cintai mengenai informasi ini. Sementara itu departemen kesehatan harus melokasikan pasangan untuk di tes. Saya memberanikan kelayen agar mereka mengungkapkannya pada pasangan mereka dulu, untuk mendapatkan tanggungjawab pribadi ketika terjadi kemungkinan yang terjadi terhadap teman-teman mereka dan orang yang dulu mereka cintai.

Hubungan dengan keluarga dan teman-teman dapat lebih rumit. Banyak keluarga masih menganggap diagnosa HIV adalah memalukan, walaupun jika mereka teridap melalui transfusi darah. Jika orang itu adalah gay, akan lebih memalukan dan menyedihkan. Ini terutama benar jika kelayen tidak berakhir baik kepada keluarga dan teman-teman mereka. Dalam kasus ini, diagnosa HIV akan menjadi berita publik, dan goncangan yang dihasilkan serta kemarahan akan sama kuatnya dengan diagnosa itu sendiri saya akan mendiskusikan masalah ini kemudian dalam lebih terperinci.

Kebutuhan Dasar

Seperti halnya dalam semua krisis, sangatlah penting untuk mengerjakan “hal-hal yang pertama dilakukan”, terutama selama periode krisis. Dengan kata lain, sebelum menghabiskan waktu mengejar sesuatu yang abstrak seperti eksplorasi perasaan, sangatlah penting bagi kelayen untuk mendapatkan apa yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup dari hari ke hari. Kelayen tidak akan mengutarakan perasaannya secara jujur jika mereka sendiri kurang makan, tidur, dll. Kelayen juga perlu mempertimbangkan transportasi, akses medis, dan dukungan sosial. Kemampuan manajemen sangatlah vital untuk menolong kelayen mengakses dukungan finansial dan program pertolongan. Saya juga menyarankan untuk mengatur emosi untuk bertahan hidup saat terjadi krisis sebagai kebutuhan dasar. Pertama, membantu kelayen untuk melewatinya sampai besok, sebelum mencemaskan masalah jangka panjang.

Reaksi dan Stabilitas Emosional

HIV/AIDS dapat menjadi penyakit yang membuat sepi. Seringnya orang-orang menjaga diagnosa mereka sebagai sebuah rahasia atau hanya mengatakan pada kelompok kecil teman, keluarga, atau personil medis. Mereka benar-benar takut terhadapa diskriminasi dan stigma-stigma oleh publik, teman, dan keluarga. Karena opini negatif publik, orang-orang yang hidup dengan HIV juga beresiko kehilangan pekerjaan atau rumah, juga menderita secara verbal dan/atau penolakan fisik. Sangatlah penting untuk mengingat bahwa HIV tetaplah sebuah stigma dan penyakit isolasi sosial yang menakutkan dan terpolarisasi oleh kebanyakan orang. Bukan hanya terkena penyakit mematikan, namun mereka juga berdosa.

Karena baru saja didiagnosa dan orang-orang sering berada pada krisis emosional, kelayen sering bertanya, “apa yang harus saya rasakan?” kenyataannya sangatlah wajar bagi kelayen yang berduka-cita serta kehilangan bertanya seperti itu. Mereka sering juga merasa bingung; kelayen menanyakan apakah hal ini normal, walaupun kebingungan dan emosional mereka secara konstan “naik-turun”. Saya umumnya menyakinkan kelayen bahwa “normal” tidak ada. Apapun yang mereka rasakan adalah normal buat mereka saat itu. Juga sangat membantu kelayen untuk menyadari bahwa yang lain pun mengalami kebingungan yang sama dengan mereka. Sering juga, memberi rujukan pada kelompok pendukung membantu mereka terhadapa isolasi dan krisis emosional, terutama pada kelayen yang baru saja didiagnosa dan keluarga mereka.

Bunuh Diri

Sering hadir dalam pikiran seorang pengidap HIV/AIDS untuk melakukan bunuh diri, masalah yag lebih penting khususnya jika kelayen adalah seorang gay ataupun lesbi. Kelayen gay dan lesbi lebih banyak melakukan bunuh diri dibanding dengan heterosexual (Van Wormer, Wells, & Boes, 2000). Pengalaman saya memberitahukan bahwa tindakan bunuh diri itu dilakukan karena rasa sakit yang berlebihan dan/atau ketergantungan. Mereka mengatakan tidak takut mati, tapi proses sekarat. Mereka tidak ingin merasakan sakit dan kesengsaraan mati akibat AIDS, juga tidak ingin tergantung kepada orang lain. Pasangan dan orang yang peduli sering memikirkan cara untuk bunuh diri karena tidak percaya mereka bertugas untuk menyediakan layanan, atau tidak ingin hidup tanpa orang yang mereka cintai. Bagaimanapun, jangan memandang remeh orang yang berpikir untuk bunuh diri. Walaupun kebanyakan tidak melakukannya, namun beberapa orang melakukannya. Praktisi harus mengevaluasi kelayen untuk melihat apakah kecenderungan bunuh diri adalah reaksi normal pada hidup mereka, atau disebabkan oleh pengobatan, kegilaan, psikologi, depresi, atau kecemasan (Leavitt, 2000). Jika kelayen serius, maka jangan ragu untuk membawa mereka ke psikiatri untuk evaluasi selanjutnya.

Pencegahan Resiko

Seperti yang didiskusikan sebelumnya, diagnosa HIV berarti kelayen harus secepatnya bertanggungjawab pada tingkah laku seksual atau menghadapi konsekuensi legal. Secara legal, pengidap HIV-positif harus menginformasikan pasangan seksual tentang statusnya atau menghadapi konsekuensi seurius. Karena itu, membantu rencana kelayen untuk seks dan berhubungan sangatlah penting, termasuk diskusi berulang-ulang tentang pencegahan universal dan latihan seks aman.

Berhadapan dengan Ketidakpastian

HIV/AIDS dapat membuat frustasi; batas waktu tidak akan. Yakni, kemajuan penyakit berbeda pada tiap-tiap orang. Kelayen menginginkan prediksi. Mereka ingin tahu apa yang diharapkan, kapan untuk berharap, dan secara spesifik apa yang dapat mereka lakukan tentang perubahan dan masalah yang kan terjadi. Selanjutnya, pekerja sosial harus melayani frustasi mereka, seperti pertanyaan kelayen tentang penyakit mereka dan bagaimana masa depan mereka. Alaminya, mereka ingin tahu; mereka ingin mengatur hidup dan masa depan depan mereka.

Lebih lagi, banyak orang mendasarkan ekspektasi mereka di masa lalu, ketika HIV berarti umur yang pendek. Banyak teman-teman dan kenalan di masa lalu yang mati terkena AIDS. mereka tak sadar telah banyak pengobatan yang telah dikembangkan untuk meningkatkan jumlah dan kualitas hidup bagi orang-orang yang terkena HIV. Selanjutnya, edukasi sangat penting untuk mengurangi kecemasan dan frustasi.

Rencana Masa Depan

Banyak kelayen positif HIV kehilangan kepercayan jika hidup mereka berarti.Victor Frankel (1959/1992) menyarankan bahwa berputus asa dan merasa cemas meningkatkan arti hidup. Frankel melihat penderitaan sebagai peluang bagi manusia yang hidup dalam kondisi terminal untuk berkembang dan cara menanggulangi daripada mengobati. (Greenstein & Breitbart, 2000).

Tugas kita adalah membantu mereka melihat masa depan dengan harapan dan rencana. Saya secara rutin menolong kelayen dengan rencana masa depannya. Mengatur tujuan jangka panjang, dan tidak menyerah. Saya juga membantu kelayen untuk focus pada tujuan emosional mereka sehari-hari. Walaupun kita tak dapat menghilangkan “masalahnya”, kita tetap dapat menyediakan sebuah hubungan berdasar harapan adalah hal yang paling penting yang dapat dilakukan praktisi (Johnson, 2004) untuk orang yang baru saja didiagnosa atau orang yang mencintainya.

Menangani Krisis: Keterkejutan dan Penolakan

Salah satu tugasku sebagai pekerja sosial di klinik adalah menginformasikan kelayen mengenai diagnosa HIV mereka.. beragam reaksi dari mereka, dan sering ditentukan apakah mereka telah “tahu” bahkan sebelum dites. Beberapa dari mereka yang datang ke klinik telah menyadari mengidap HIV, khususnya jika mereka hidup pada gaya hidup beresiko tinggi. Walaupun diagnosa HIV begitu menyakitkan dan merubah hidup, kelayen tersebut menanggapinya dengan baik.

Jika diagnosanya mengejutkan, kelayen sering bereaksi dengan shock dan emosional; kadang mereka mengeluarkannya dengan amarah. Dengan kondisi ini, praktisi harus terus meyakinkan mereka tentang ketersediaan pertolongan, dan menggunakan kemampuan konseling krisis untuk membantu kelayen melewati periode emosional ini. Walaupun begitu, jangan mengharapkan kelayen mengingat apapun yang kamu katakan, setelah mengatakan, “kamu positif HIV”. Mereka tidak akan mengingat hal lain, jadi pertahankan pekerjaanmu dengan simple dan jangka pendek. Dalam hal ini, kita harus menilai kebutuhan mendesak mereka akan dukungan dan proteksi, dan mencoba mengontak mereka hari berikutnya untuk memulai rencana pelayanan.

Ingat, sama halnya seperti mendengar kematian oang yang dicintai, tiap orang memiliki reaksi berbeda pada berita ini. Banyak yang tidak siap untuk menerima untuk mendengar berita atau mengambil langkah untuk mengobati kondisi mereka. Kebanyakan butuh waktu dalam prosesnya, sendiri ataupun bersama yang lain. Bahkan, penolakan merupakan coping mekanisme yang sangat penting (dan sering menyehatkan)untuk mereka yang baru didiagnosa. Praktisi harus tetap sabar, membiarkan kelayen “tenggelam” dengan berita ini sebelum meminta mereka melakukan aktivitas yang membutuhkan kelayen menerima kondisi mereka sebelum beraksi. Saya selalu bertanya kepada siswa untuk menimbang waktu yang mereka butuhkan dalam menyesuaikan diri terhadap berita itu. Jangan berharap kelayen untuk bertindak segera dan berbeda daripada kita.

Pertemuan Pertama Kami

Sebelum pergi melakukan janji dengan Bob dan Phil hari berikutnya, Katie (perawat kami) dan saya setuju untuk focus pertama pada pembangunan hubungan. Katie mengatakan dia memiliki beberapa hal untuk ditinjau kembali bersama Phil dan focus pada keinginannya agar Bob melakukan tes HIV. Kami setuju untuk memberanikan Bob dan Phil membangun beberapa tujuan jangka pendek.

Kami tiba di rumahnya untuk pertemuan. Rumah mereka sangat indah untuk ukuran pinggir kota. Bob terunduk ketika menyalami kami di depan pintu rumah. Interior rumahnya sama bagusnya dengan bagian luar; bersih, terdekorasi, dan hangat. Bob mengambil jaket kamidan bersama-sama menemui Phil di ruang tamu. Phil bersandar di dipan. Kami duduk di kursi menghadap dipan, Bob berdiri disamping, tidak duduk.

Saya memulai pertemuan dengan memperkenalkan kembali Katie dan saya sendiri. Saya tidak secara formal bertemu Phil sebelumnya. Mungkin kita bertemu tapi saya yakin dia tidak mengingatku sama sekali. Saya menjelaskan peranan profesi kami, berdiskusi dengan percaya diri, dan membuat mereka menandatangani formulir klinik yang dibutuhkan serta lampirannya. Saya menunjukkan simpatiku untuk derita emosi mereka dan menawarkan bantuan pertolongan untuk mencarikan solusi. Hampir secepatnya, Bob menangis. Wajah Phil tidak bergerak. Dia mungkin berfikir, dalam penolakan yang berat, atau tidak dapat memproses hal itu saat ini. Ditempat kami duduk, Bob menangis, Phil menatap kedepan, dan saya serta Katie berfikir tentang apa yang akan dilakukan.

Katie menyarankan kita untuk mulai melihat kembali pemahaman mereka terhadap situasi yang dialami. Memberitahukan kepada kelayen tentang informasi yang kita ketahui adalah hal yang biasa kita coba lakukan dan memberikan mereka kesempatan untuk merespon. Kelayen memiliki informasi di arsip medis dan sangat penting agar mereka tahu informasi yang kita miliki dan apa yang kami pikirkan tentang kasus mereka. Cara terbaik dalam mengembangkan hubungan yang terbuka serta kepercayaan secara professional.

Bob mengatakan mereka sedang proses pindah ke komunitas ini saat Phil mulai merasakan sakit kepala, perasaan tidak enak, dan kehilangan berat tubuh. Mereka tidak cukup lama tinggal disini untuk mendapat banyak teman. Perusahaan Bob mentransfernya ke kota ini ini dua bulan yang lalu. Mereka juga tidak memiliki dokter kepercayaan. Dokter yang pertama mereka temui mengalami kesulitan dalam menjelaskan penyebab kondisi Phil. Frustasi, mereka pun bertemu dokter lain yang merujuk mereka ke bagian spesialis penyakit infeksi, yang menyatakan diagnossis kondisi Phil. Bob mengatakan, sebagai seorang gay mereka cukup tahu tentang HIV, tapi tidak mengira akan menjadi pilihan. Mereka telah bersama selama bertahun-tahun dan tidak percaya mereka beresiko untuk terkena HIV. Bob mengatakan Phil baru-baru saja mengakuinya selama kerenggangan mereka, bahwa dia melakukan seks dengan orang lain. Ini adalah kabar baru setelah Phil menjadi sakit dan bertunangan dalam beberapa tahun mereka melakukan seks tanpa pengaman.

Saya dan Katie menjelaskan kembali fakta tentang HIV. Sangat tidak bijaksana berasumsi bahwa masyarakat, bahwa gay, tahu tentang penularan HIV. Bob dan Phil terkejut seperti kebanyakan orang, bahwa hubungan seksual dengan Phil tidaklah cukup untuk Bob tertular HIV. Kami berdua tahu beberapa waktu yang lalu pasangan gay yang salah satu partnernya positif HIV melakukan hubungan seks seperti biasa melalui anal, meskipun begitu, pasangannya tidak terkena HIV. Kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa untuk penularan HIV membutuhkan kondisi yang tepat. Yaitu harus ada rute langsung yang tersedia ke saluran darah agar HIV dapat tertular. Ini bukan kasus yang selalu terjadi. Saya sekali lagi memberi kesempatan pada Bob untuk melakukan tes. Setelah beberapa pertimbangan, dia setuju untuk dites, saya menyarankan untuk melakukan intervensi lebih awal sebagai penyembuhan yang terbaik.

Katie menghabiskan waktu berbicara dengan Phil tentang pengobatan dan pertemuan yang dibutuhkan untuk pelayanan dan penyembuhannya. Phil tetap datar saja dan tidak memperlihatkan emosinya. Dia berbicara sangat sedikit, kebanyakan dengan satu jawaban kata. Phil terlihat tidak sadarkan diri atau mungkin dia mengalami gegar akibat infeksi otak. Saya tidak berniat membangun hubungan dengan Phil saat ini, terlebih lagi saat Bob ingin sekali berbicara. Saat ini aku meminta Bob untuk meminum air. Sementara Katie menuliskan arahan-arahan serta jadwal untuk dikaji kembali bersama Phil, Bob membawaku ke dapur dan memberikanku tour rumah. Bob dan saya duduk di atas meja dapur. Saya menanyakan kekhawatiran terbesarnya saat ini. Dia takut Phil mati dan dia kesepian di kota yang asing ini. Dia juga takut tak bisa merawat Phil dan mempertahankan pekerjaannya. Dia juga khawatir tentang hubungan keluarga mereka yang kaku, dengan mantan istrinya, dan anaknya yang sudah besar.

Saya heran Bob tak memikirkan tentang kondisinya yang kemungkinan mengidap HIV. Saya pun menanyakan tentang hal itu. Dia bilang tak punya waktu untuk mengkhawatirkan itu sekarang. Dia akan mengambil rencana setelah hasil tesnya keluar. Saya mendukung pendekatan dan perhatiannya. Saya memintanya untuk menghilangkan semua pikiran-pikirannya dan beralih pada kesempatan bertemu denganku sementara Phil berpartisipasi di pemeriksaan medisnya beberapa minggu kedepan.

Riwayat Pribadi Bob

Walaupun kita tak tahu status HIV Bob, namun dia kemungkinan dapat tertular, membuatnya layak mendapatkan pelayanan konseling saya di klinik. Dia dalam keadaan stress emosional dan menyatakan secara terbuka bahwa dia ingin membicarakan tentang kekhawatiran serta ketakutannya. Selama sesi pertama kami, dengan bantuan informasi yang diterima selama kunjungan rumah satu minggu sebelumnya, saya mempelajari kehidupan Bob dan hubungannya dengan Phil. Dia akan melanjutkan hidupnya dan bergulat sebagai seorang gay dalam hubungan dan perawatan tunggalnya kepada orang yang dicintainya yang baru-baru saja didiagnosa AIDS serta penyakit komplikasi yang diakibatkan oleh AIDS.

Membawakan Masalah

Bob memiliki dua masalah fisik. Dia mengadukan borok yang dia alami selama empat tahun dan kesulitan tidur semenjak Phil didiagnosa. Dia cemas tak dapat berkonsentrasi pada pekerjaan dan mengurus Phil akibat sulit tidur. Lebih lanjut Bob mengatakan dia merasa sendirian dan dihantui HIV Phil dan kasih sayang yang akan dia dapatkan kemudian. Bob tidak yakin memiliki kemampuan sosial atau sumber emosional untuk mengatasi tekanan hidupnya sendiri. Situasi Bob lebih sulit karena mereka baru saja pindah ke tempat yang jauh dari keluarga dan teman.

Sebagai seorang gay yang telah berhubungan sex lama dengan seorang pengidap AIDS, Bob sadar dia sangat beresiko tinggi terkena AIDS. walaupun begitu, dia tak dapat meluapkan energi emosionalnya untuk mencemaskan dirinya. Dia akan melewati jembatan itu ketika akan melakukan tes.

Bob membantu karena pikirannya merasakan akan “meledak” dan dia tidak memiliki seseorang untuk berbicara di tempat ini. Bob juga mengatakan bahwa dia tidak dapat berbicara dengan Phil semenjak diagnosa Phil. Selain karena alasan sakitnya, juga karena Phil merasa bersalah karena tidak memberitahu inforamasi mengenai tentang pasangan seksnya selama mereka berpisah dan menjaga Bob selama melakukan hubungan seks.

Sat pertemuan pertama kami, Bob tidak percaya memiliki kapasitas untuk mengembangkan sebuah rencana aksi dan meragukan Phil, pasangannya, akan dapat berpartisipasi dalam memberikan krisis medisnya saat itu. Bob secara jelas megekspresikan keinginan untuk menolong krisisnya saat ini.

Riwayat Hubungan

Bob dan Phil telah tinggal bersama selama sepuluh tahun, bertemu dalam sebuah klub malam di kota mereka dulu. Mereka kemudian jatuh cinta, dan bekerja keras dalam membuat hidup mereka baik. Sebagaimana yang dilakukan pasangan muda, mereka sering “jatuh bangun” selama bertahun-tahun. Menurut Bob, mereka sudah berpisah 2 kali, pertama berlangsung sebulan dan yang kedua berlangsung dua minggu. Bob berkata masalah yang membuat mereka berpisah tidaklah begitu serius, tapi lebih kekanak-kanakan yang sering dilalui oleh pasangan. Selama berpisah, Phil melakukan hubungan tanpa pengaman, sex bebas dan terjangkit HIV/AIDS.

Sekarang bob menjadi perawat tunggal bagi pertnernya. Phil berada di tengah-tengah proses pengobatan infeksi otak langka yang serius dan rumit. Bob berkatu dia merasa “mati rasa” tentang berita seputar diagnosa AIDS Phil dan seks anonimnya. Dia berkata tak memiliki kapasitas emosional untuk menghadapi situasi yang kejam ini, dan tak tahu caranya sebagai perawat utama pada orang yang memiliki masalah komplikasi seperti Phil

Riwayat keluarga

Bob mengatkan bahwa hubungannya dengan keluarga asal begitu rumit. Tumbuh dalam keluarga kelas menengah. Ketika mereka memilki cukup uang untuk bertahan hidup, keluarganya mengalami gejolak. Dia menjelaskan bahwa awalnya hubungan mereka dengan orang tua dan saudaranya sedang baik-baiknya, namun berubah ketika bertemu dan pindah dengan Phil. Dia menjelaskan bahwa keluarganya bermasalah dengan sifat “gay” nyadan secara terbuka hidup dengan gay. Butuh beberapa tahun sebelum hubungan mereka mulai meningkat. Semenjak merka pindah ke tempat ini, dia sekali lagi berada pada hubungan yang baik dengan keluarganya, walaupun mereka tetap tidak mengakui Phil sebagai bagian dari keluarga mereka.

Keluarga Phil lebih rumit lagi. Mereka tidak hanya harus menghadapi masalah dengan keluarga Phil karena menjadi gay, namun Phil juga memiliki istri dan dua anaknya yang sudah remaja. Phil lebih tua dibanding Bob. Waktu masih muda, Phil sudah pernah menikahi seorang wanita. Pernikahan mereka bertahan 12 tahun dan menghasilkan dua anak. Bagaimanapun juga, Phil menyadari kalau dia tak dapat mempertahankan pernikahannya lagi. Dia bercerai dan hidup sebagai seorang gay. Dalam bebrapa bulan, dia bertemu dan jatuh cinta dengan Bob. Mantan istrinya dan dua anaknya tak pernah menerima kenyataan ini. Mereka tetap marah pada Phil dan tak mau bicara.

Bob mengatakan bahwa keluarganya dan teman-teman yang mendukungnya serta orang yang dicintainya berada sangat jauh. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, mereka baru saja pindah ke komunitas dan belum memiliki banyak teman sebelum akhirnya Phil sakit. Dia bersyukur dapat pindah bersama Phil ke rumah barunya. Bagaimanapun juga, mereka baru-baru saja pindah dan belum membaur dengan komunitas.

Karir Profesional

Bob menjelaskan bahwa dia bekerja keras dan mendapatkan gaji yang banyak. Dia khawatir akan apa yang terjadi pada pekerjaannya jika Phil membutuhkan bantuannya. Bob tak yakin apa yang akan perusahaannya katakan karena memberitahu bahwa dia adalah gay. Menurut Bob, bukannya dia tertutup, namun hanya tidak ingin memberitahu siapa pun. Karena perusahaannya tidak menyadari dia memiliki pasangan gay, maka dia tidak yakin bahwa dia dapat merawat Phil.

Bob tidak minum minuman keras ataupun obat-obatan selain obat tidur. Dia juga mengatakan bahwa dia sulit tidur dan sulit bekerja sejak Phil sakit. Dia takut staminanya dalam bekerja menurun dan kehilangan ingatan jangka pendek.

Kemampuan Kelayan

Bob adalah orang yang cerdas dan dapat bersosialisasi dengan baik. Dia memiliki pekerjaan yang bagus, rumah yang indah, makanan, dan kemampuan finansial yang mencukupi. Dia terlihat perhatian tehadap Phil, walaupun tahu telah dikhianati. meskipun dia terluka secara emosional, namun dia tahu Phil berada pada kondisi kritis dan membutuhkan bantuannya. Dia menyadari bahwa masalahnya tidak umum dan sangat bersyukur menemukan sumber komunitas yang sangat membantu.

Rencana Pengobatan

Berdasarkan informasi yang didapatkan selama pertemuan kami, Bob dan saya mengembangkan sebuah rencana penyembuhan yang menjadi masalah utama. Termasuk rencananya, dalam kalimatnya sendiri, tujuan-tujuan, dan terget.

Gol 1: Bob mengatakan bahwa dia ingin dapat tidur nyenyak

Tujuan:

cari bantuan melalui dokter

kembangkan rencana perawatan-diri yang termasuk di dalamnya diet layak dan makanan-makanan biasa.

Kembangkan rencana perawatan-diri yang termasuk didalamnya mendelegasikan pekerjaan dan maslaah pada lainnya.

Gol 2: bob mengatakan dia ingin mengembangkan jariangan pendukung sosial

Tujuan:

Tetap mengadakan pertemuan konseling dengan konselor HIV

Hubungkan dengan teman-teman dekat yang mendukung secara emosional

Datangi gereja yang menerima keanggotaan gay

Mengontak jaringan gay dan lesbian di dalam komunitas agar mendapatkan laporan berkala dan membuat hubungan sosial.

Gol 3: Bob focus pada resiko besar tertular HIV

Tujuan:

Lakukan pertemuan untuk mengadakan tes HIV dan konseling di klinik.

Gunakan tindakan pencegahan universal dalam merawat pasangannya

Secara konsisten mengadakan kontak seks secara aman untuk mengurangi kemungkinan terinfeksi atau diinfeksi

Tantangan etik terhadap kelayen positif-HIV

Masalah terbesar bagi orang-orang yang terjangkit HIV mungkin adalah kerahasiaan. Seseorang dengan HIV beresiko didiskriminasi secara terang-terangan maupun secara tertutup. Orang-orang yang tinggal dengan HIV juga beresiko kehilangan hubungannya dan dukungan sosialnya jika orang-orang tahu mereka terjangkit HIV. Masalah penting ini harus ditangani secara halus dan peduli. Pekerja sosial tidak boleh memaksa kelayen tentang siapa-siapa yang boleh diberitahukan tentang penyakitnya dan siapa yang tidak. Sebagai contoh, seorang remaja yang pernah saya obati mengatakan bahwa dia khawatir mengatakan masalah ini kepada ibunya. Saya berpikir bahwa ibuku akan mendukungku dan percaya bahwa ibu adalah orang yang penting untuk dimasukkan dalam pelayanan. Hanya karena aku percaya dan mengikutkan ibuku bukan berarti kelayen harus melakukan hal yang sama dengan ibunya. Kita akan membuat kesalahan besar ketika kita memaksa kelayen untuk berbagi informasi berdasar assessment kita dalam grup pendukung. Secara etik, kita mengintervensi hak mereka untuk menentukan diri sendiri dan menjaga hak kerahasiaan mereka dalam hubungan profesional kita untuk menyemangati mereka mengatakan seseorang tentang status mereka. Saya menyemangati kelayen yang baru saja didiagnosa untuk tidak memberitahu terlalu banyak orang terlalu cepat. Saya piker bahwa mereka butuh waktu agar shock merka hilang sebelum meng-assess siapa yang harus tahu dan siapa yang akan menawarkan dukungan dan semangat.

Rencana intervensi dan Arah Pengobatan

Rencana penyembuhan yang disajikan sebagai tugas yang vital dalam pekerjaanku dengan Bob. Ketika pertama kali bertemu, kehidupan Bob mengganggunya, membuanya tak dapat melakukan hal sesuai dengan kebiasaannya. Dengan memberikan cara pribadi Bob yang membutuhkan organisasi dan rancana aksi, menuliskan sebuah rencana penyembuhan mungkin menolongnya melakukan aktivitasnya kembali.

Aktivitas pertama kami adalah mendaftarkan kekhawatiran utama Bob. Ketika daftarnya telah lengkap, saya bertanya tentang prioritas utamanya dan dalam urutan apa saja (berdasarkan prioritas) yang akan dia susun? Sebagai contoh, Bob menyertakan masalah kesehatan Phil, tapi melalui diskusi kami, saya ketahui bahwa Bob nyaman dengan dokter baru Phil dan perawat yang diikutsertakan di dalamnya. dia sangat terkesan terhadap perhatian dan pengobatan yang mereka lakukan padanya, serta memasukkan Bob dalam membuat keputusan. Dengan demikin, Bob setuju jika kekhawatirannya akan berada pada dafatar bawah karena perawatan yang diberikan kepada Phil oleh staf medis klinik. Proses menyusun kekhawatiran Bob sangat membantu dalam memotivasi Bob untuk bekerja. Proses ini memakan waktu satu hingga dua jam sasi hingga selesai. Ketika selesai, Bob memutuskan prioritas utamanya adalah gangguan tidur, kurangnya dukungan sosial, masalah tes HIV, dan kebutuhan akan rencana aksi, masalah yang berkahir pada rencana penyembuhannya. Bob sangat senang dengan kerja kami dan membuat salinan rencananya di rumah untuk menjaganya dari rasa gelisah.

Model Biopsikososial

Saya memanfaatkan model biopsikososial dalam pendekatan terhadap Bob di sesi kami sebelumnya. Model ini mencari gabungan dari kombinasi tubuh, emosi, dan integrasi sosial dengan cara menjadikan komponen-komponen manusia ini dengan secara kolektif mempertahankan fungsi dari keseluruhan ( Engel, 1980). Model ini kemudian menjelaskan bahwa semua level dari organisasi manusia saling berinteraksi dan perubahan dari satu fungsi area akan merubah fungsi area lainnya. (Caron & Goets, 1998). Asal dari teori system ini menegaskan segala jenis pengobatan terhadap individu harus diperhitungkan, bukan hanya penyakit biologis namun juga masalah emosional dan dukungan sosial. dalam ber=kerja dengan kelayen pengidap HIV, model biopsikososial menawarkan tiga wilayah pekerjaan dengan pengertian bahwa progress di salah satu area berarti progress di semua area. Selanjutnya, saya mangatakan kepda Bob bahwa hidupnya tidaklah terkotak-kotak saperti yang dia percayai. Saya mengangkat ide bahwa kesehatannya, emosional dan pelayanan fisik, seta dukungan sosial semua bermain dalam dalam bagian penting untuk melangsungkan hidup. Kami berdiskusi bagaimana semua aspek bekerja bersama-sama dalam menaikkan kesehatannya secara menyeluruh dan menjadi baik. Bob merespon dengan baik pendekatan ini, dan terlihat adanya kemajuan. Bagaimanapun, hidupnya akan berubah lagi.

Tes HIV dan Hasilnya

Seminggu setelah pertemuan kami, saya melakukan tes HIV terhadap Bob. Bob positif terkena HIV. Meskipun tahu dia kemungkinan terjangkit, Bob tidak berpikir tentang kesehatannya karena segala hal yang telah terjadi padanya saat ini, terutama kesehatan Phil yang buruk. Berita itu merupakan pukulan bagi Bob. Dia berkutat dengan perasaan marah terhadap Phil karena “memberikannya HIV” dan perhatiannya terhadap kesehatan Phil yang semakin menurun. Terlebih lagi, dia merasa tak dapat bergerak. Dia sakit, dan masa depannya tak pasti sama halnya seperti Phil. Bagaimanapun juga, perubahan-perubahan belum selesai begitu saja.

Sekitar sebulan kemudian, Phil meninggal akibat infeksi otak akibat komplikasi yang berkaitan dengan AIDS. Bob terlihat binasa. Dia berpikir luar biasa berapa banyak kejadian yang mengguancangnya dalam waktu yang singkat ini. Pikirannya melayang-layang tentang keamanan dari hubungan bersama pasangannya dalam waktu yang lama, pekerjaan meraka yang baik, gaji yang baik, dan kedua-duanya dalam kesehatan yang prima. Tiga bulan sebelumnya, hidup mereka optimis dan penuh akan kesempatan. Dalam tiga bulan, Bob merencanakan penguburan Phil, bermasalah dalam pekerjaan, dan tahu diaterkena HIV, itu adalah sebuah pukulan telak bagi karakter kuat Bob yang dia harus jalani dibawah tekanan.

Terapi yang Dijalankan

Setelah kematian Phil, Bob dan saya bertemu sekali seminggu selama kurang lebih enam bulan. Selama itu, kita memperkecil skala pertemuan kita menjadi sekali tiap bulan, dan kemudian sekali tiap enam bulan setelah dia menagalami kemajuan dan peningkatan dalam hidupnya. Kita membangun hubungan konseling seputar masalahnya yang ada.

Kami menghabiskan bebrapa bulan pertama setelah kematian Phil berbicara tentang kemarahannya karena telah mati dan menginfeksinya dengan HIV. Bob menyadari bahwa Phil tahu dia telah sakit selang sebelum dia memberitahukannya. Hal ini membuat Bob menduga, mengapa Phil, orang yang dicintainya, menaruhnya dalam resiko seperti itu. Dia tak dapat menghukum Phil karena tidak memberitahukannya, atau menuntutnya melakukan hubungan seks dengan mengguanakn pengaman saat perpisahan terakhirnya. Masalah ini menghantui Bob cukup lama. Perasaan dikhianatinya sangat kuat, dan sangat sulit untuk memafkan Phil karena “menghancurkan” hidupnya dalam kecerobohan dan tanpa berpikir panjang.

Bob juga berusaha keras untuk mengerti perannya dalam dalam keluarga aslanya. Dia tehu bahwa orang tuanya menyebutnya anak gay. Sebelum diagnosa Phil, hubungan mereka telah meningkat. Meskipun begitu, sejak didiagnosa HIV dan kematian Phil, hubungan dengan keluarganya kembali memburuk orang tuanya mengatakan bahwa Bob “pantas” mendapatkan HIV karena menjadi seorang gay. Seyogyanya, dia tidak menerima dukungan sedikitpun dari keluarga asalnya.

Kemudian, hidup Bob berubah kembali. Sekitar enam bulan setelah kematian Phil, status HIV Bob berubah menjadi AIDS. bob menjadi takut, kepastian bahwa dia akan segera mati segera. Dia segera mengambil langkah-langkah untuk menerima ketidakmampuannya dalam melaksanakan pekerjaannya dan melanjutkan perawatan atas dirinya dengan tidak bekerja, dan makan, serta tidur yang cukup. Dia mulai mencari tim medis kami untuk mencari pengobatan yang ada saat itu. Seolah-olah jika hidupnya telah diambil secara drastic dan kejam.

Masih, walaupun terjadi perubahan-perubahan dalam satu tahun, Bob mulai membuat koneksi pada komunitas barunya. Dia mengadakan hubungan dengan gereja local dan jaringan gay dan lesbian local. Dia mengembangkan kelompok rajutan-tertutup yang terdiri dari teman-teman yang mendukungnya dan segera merasakan emosinya menjadi lebih baik dari yang pernah dia ingat sebelumnya. Saya kagum oleh komitmen hidupnya dan kemampuannya menjadi yang terbaik dalam kondisi seperti itu.

Terminasi

Akhirnya, kehidupan Bob menjadi lebih baik, dalam cara yang menakjubkan. Segera setelah diagnosanya berubah dari HIV menjadi AIDS, obat-obatan baru muncul ke pasar, dan Bob dapat menjangkaunya. Obat-obatan menakjubkan ini menyelamatkan hidup Bob. Dia membuat kemajuan yang baik hingga dia dapat bekerja kembali dan hisup dalam keadaan sehat. Setelah melihat Bob jatuh bangun selama lima tahun, dia mengalami perubahan dalam hidupnya. Dia memiliki teman-teman dan tujuan hidup baru. Dia sudah tidak membutuhkanku lagi sebagai pendukung hidupnya; dia telah mendapatkan apa yang dibutuhkannya pada komunitas barunya. Saat kita bertemu terakhir, Bob memiliki hidup yang baik, bekerja penuh, dan menikmati bersama-sama teman-tamn yang baik.

Sangat ironic jika mengatakan dia beruntung. Diagnosanya terjadi selang sebelum obat-obatan pencegahan baru hadir. Obat-obatan ini memperpanjang hidupnya. Bukan hanya Bob dapat hidup selama 8 tahun, dia tetap kuat dan vit serta memiliki kualitas hidup yang baik. Meskipun saya tak melihat bob secra profesi dlam beberapa tahun, saya terus melihatnya di acara local dan pemberian dana dan kami saling bertemu dengan kegembiraan.


BAB III

Penutup

Kesimpulan

Melihat permasalahan diatas, maka dapat diperoleh beberapa pengetauan baru mengenai HIV/AIDS khususnya terhadap “gay”. Betapa banyak masalah yang diakibatkan oleh penyakit ini terhadap kehidupan seseorang maupun kelompok, baik secara emosional, fisik, sosial, mental, dan lain sebagainya. Belum lagi ditambah oleh permasalahan gay sendiri yang memiliki kajian berbeda dalam hal ini.

Pemberian status HIV/AIDS dapat menjadi suatu “statement” yang mematikan bagi kelayen, karena dengan ini semua merupakan awal dari masalah-masalah yang akan terjadi ke depan, misalnya terhadap lingkungan kelarga, teman, masyarakat, rencana masa depan, pekerjaan, bahkan samapi pada hubungan seksual terhadap pasangan. Maka diperlukan suatu dukungan-dukungan terhadap penderita baik dalam semua hal agar mereka dapat menjalankan fungsi sosial baik juga agar dapat merencanakan masa depan mereka.

Selain HIV/AIDS, juga terdapat permasalahan “gay”, bahwa orang yang dinyatakan “gay” diberikan statemen negatif sebagai pembawa HIV, isu ini harus dihilangkan dengan sosialisasi yang baik terhadap masyarakat oleh peksos medis. Dengan status “gay” dan “HIV/AIDS” akan membuat individu semakin putus asa dalam kehidupannya.

Pekerkja sosial dalam hal ini dapat memakai pendekatan biopsiokososial, dimana model biopsikososial memandang suatu penyakit selain dari aspek biomedik juga memperhitungkan pengaruh sosial (eksternal) dan faktor psikodinamik (internal) terhadap suatu penyakit. Sistem biologis menekankan pada substrat anatomik, struktural, dan molekular dari penyakit serta efeknya pada fungsi biologis pasien. Sistem psikologis menekankan efek faktor psikodinamik, motivasi, dan kepribadian pada pengalaman sakit serta reaksi terhadap penyakit. Sedangkan sistem sosial menekankan pengaruh kultural, agama, lingkungan, dan keluarga terhadap penyakit. Dengan demikian, model biopsikososial merupakan suatu sistem pendekatan terintegrasi yang mendorong pemahaman menyeluruh mengenai penyakit.

Saran

HIV/AIDS merupakan penyakit yang sangat kompleks dan dibutuhkan suatu perhatian lebih dalam menanganinya. Seperti kita ketahui bersama bahwa penyakit HIV/AIDS memiliki banyak masalah sosial kompleks yang menyertainya, oleh sebab itu merupakan tugas pekerja sosial medis dalam menunjukkan bakat profesional mereka dalam menghadapi krisis ini. Dengan menggunakan teori-teori serta pendekatan-pendekatan profesi melalui research (penelitian) yang mendalam serta keikutsertaan banyak pihak maka diharapkan muncul cendekiawan-cendekiawan baru dalam upaya penanganan masalah serta metode-metode baru dalam pelayanan terhadap kelayen.

Pemerintah juga memiliki tanggungjawab sosial dalam mensosialisasikan peran peksos medis agar kedepannya individu-individu mal-adaptif akibat HIV/AIDS dapat segera ditolong untuk mengembalikan produktifitas mereka terhadap peranan di masyarakat. Profesi peksos medis pun harus lebih giat dalam mencanangkan program-program baru serta ikut serta dalam memberikan masukan kepada pemerintah dalam upaya pengenalan pekerjaan sosial medis secara lebih mendalam.

Tak lupa pula terkait masalah gay yang di dalam kebudayaan Indonesia masih sangat tabu untuk dibicarakan, untuk itu diperlukan banyak penelitian intensif mencakup masalah-masalah komunitas gay khususnya berkaitan dengan HIV/AIDS, serta peran pekerjaan lain dalam memahami gay sebagai sebuah kompleksitas masalah diperlukan khususnya bagi peranan agama agar tidak terjadi konflik di dalam tubuh profesi peksos medis dalam melaksanakan tugas profesional mereka.


DAFTAR PUSTAKA

Allyn & Bacon Casebook Series Medical Social. Edited by Jerry L. Johson & George Grant, Jr. (Grand Valley State University).2005. Pearson Education, Inc.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar