Minggu, 21 Agustus 2011

Makalah Reaksi Masyarakat Terhadap Kejahatan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Penulisan makalah ini bertujuan untuk :

  1. Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pekerjaan Sosial Koreksional
  2. Mengenal permasalahan kejahatan yang ada dalam suatu masyarakat beserta reaksi masyarakat terhadap masalah kejahatan itu sendiri.
  3. Memahami dan memaparkan hasil analisis pemakalah sehubungan dengan tema makalah ini yakni Reaksi Masyarakat Terhadap Kejahatan.

1.2. Alasan Pemilihan Masalah

Alasan pemakalah mengangkat tema mangenai Reaksi Masyarakat Terhadap Kejahatan selain tuntutan tugas juga merupakan suatu tema yang menarik, mengapa demikian? Karena dengan semakin maraknya tindakan kejahatan maka semakin banyak reaksi dan aksi yang dilakukan oleh masyarakat dari sanalah sebagai bahan pembelajaran kita dimana sebagai pekerja social sangat diperlukan, banyak contoh kasus yang terjadi didalam masyarakat.

Missalkan maraknya pembunuhan sadis dengan mutilasi, dan yang paling menarik adalah biasanya sering terlihat dalam kejahatan Asusila seperti pornografi dan perkosaan. Realitas kriminalitas cenderung meningkat selama beberapa periode ini terutama pada tahun lalu yakni 2008 dan ada berbagai reaksi terhadap hal itu terutama kritik pedas yang di lontarkan kepada media dalam hal ini media massa (mass media) mengenai masalah sajian tentang kekerasan, pembunuhan sadis dengan mutilasi, tidak lupa juga dengan kejahatan Asusila.

Dalam hal ini berita terutama dari media massa (mass media) mempunyai pengaruh tersendiri terhadap masyarakat umum, khususnya kepada anak-anak. dari pemberitaan kasus-kasus tersebut melalui berbagai macam media itu akan ada efek tersendiri Jika pada anak-anak efeknya bisa langsung, pada orang dewasa efeknya tertunda. Tayangan kriminalitas yang umumnya sebagian televisi swasta menayangkan vulgar memang berpotensi besar di imitasi oleh orang dewasa saat diberada dalam kondisi yang sama.

Untuk menghindarkan dari suatu tindakan kejahatan dikembalikan lagi kepada individu masing-masing karena individu atau seseorang itu merupakan bagian anggota masyarakat sehingga terikat oleh suatu norma-norma social yang berlaku dalam masyarakat tersebut sehingga perlunya ada rasa tanggung jawab terhadap apa yang akan dan telah diperbuat sehingga tindakan yang dilakukan tidak bertentangan dengan nilai dan norma yang ada dalam masyarakat itu sendiri.

Moral seseorang merupakan dasar pegangan orang unmtuk mengamalkan kesadaran hukumnya, oleh karena itu seseorang itu harus memiliki rasa tanggung jawab moral. Fungsi moral sendiri yang mengatur kelakuan manusia, oleh sebab itu pembinaan mental anggota masyarakat khususnya sangatlah penting dan perlu dipertimbangkan, hal ini sehubungan dalam memberikan pengertian dan pencerahan menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Reaksi Masyarakat Terhadap Kejahatan

Reaksi sosial terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan (penjahat) seperti yang telah Kita pahami bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang merugikan masyarakat sehingga terhadapnya diberikan reaksi yang negatif. Kita juga telah pahami bahwa reaksi terhadap kejahatan dan penjahat, dipandang dari segi pelaksanaannya. dilihat dari segi pencapaian tujuannya dapat dibagi menjadi dua yakni; Reaksi Represif dan Reaksi Preventif. Karena berbeda tujuannya maka secara operasionalnya pun akan berbeda, khususnya dari metode pelaksanaan dan sifat pelaksanaannya.

1. Reaksi Represif

Secara singkat pengertian reaksi atau tindak represif adalah tindakan yang dilakukan oleh masyarakat (formal) yang ditujukan untuk menyelesaikan kasus atau peristiwa kejahatan yang telah terjadi, guna memulihkan situasi dengan pertimbangan rasa keadilan dan kebenaran yang dijunjung tinggi.

Contoh kasus; tema (pembobolan )

2. Reaksi Preventif

Yang dimaksud dengan reaksi atau tindak preventif adalah tindak pencegahan agar kejahatan tidak terjadi. Artinya segala tindak-tindak pengamanan dari ancaman kejahatan adalah prioritas dari reaksi preventif ini. Menyadari pengalaman-pengalaman waktu lalu bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang sangat merugikan masyarakat maka anggota masyarakat berupaya untuk mencegah agar perbuatan tersebut tidak dapat terjadi.

Selain reaksi represif dan reaksi preventif ada juga reaksi formal dan reaksi informal,

1. Reaksi Formal

Reaksi formal terhadap kejahatan adalah reaksi yang diberikan kepada pelaku kejahatan atas perbuatannya, yakni melanggar hukum pidana, oleh pihak-pihak yang diberi wewenang atau kekuatan hukum untuk melakukan reaksi tersebut.

Sebagai suatu sistem pengendali kejahatan maka secara rinci, tujuan sistem peradilan pidana, dengan demikian adalah;

(1) mencegah agar masyarakat tidak menjadi korban kejahatan,

(2) menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta

(3) mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi kejahatannya.

Contoh kasus; tema (efek jera shaming/malu untuk para koruptor)

Usul Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang didukung organisasi masyarakat sipil salah satunya, Indonesian Corruption Watch (ICW) untuk mengenakan simbol-simbol berupa pakaian khusus bagi tersangka pelaku korupsi. Hal ini semakin menarik ketika ICW secara khusus mengusulkan sejumlah rancangan pakaian khusus bagi koruptor tersebut.

Sulit untuk melihat bahwa shaming dalam bentuk "pakaian khusus koruptor" masuk dalam reintegrative shaming. Tujuannya lebih pada membuat malu itu sendiri dan sebagian berpendapat untuk membuat jera. Perlu dipahami bahwa keinginan untuk membuat malu dan jera lebih melihat pada aspek kesalahan dari pelaku atau tidak melihat pada sejauh mana shaming bermanfaat untuk memulihan konflik.

Namun, hal ini tidak sekaligus berarti reaksi yang diberikan justru melanggar hak-hak dari para pelaku koruptor. Terlebih lagi bila para koruptor yang dimaksud masih berstatus sebagai tersangka. Sederhananya, reaksi tetap harus melindungi hak tersangka untuk diduga tidak bersalah. Bila ini kembali dilihat dengan filosofi pemasyarakatan jelas tidak mendukung semangat memberikan reaksi formal yang manusiawi dan melindungi HAM.

Ketiga pertimbangan ini perlu diperhatikan dengan baik bila tujuan akhir dari setiap reaksi formal terhadap kejahatan adalah "meluruskan" kesalahan pelaku dan membuatnya diterima kembali di masyarakat. Ide "pakaian khusus koruptor" dalam hal ini masih terlalu jauh dari bermanfaat bagi upaya memerangi korupsi di negeri ini.

Hal yang jauh lebih penting dalam menimbulkan penjeraan ini adalah kepastian bahwa proses hukum berjalan bagi siapapun yang melakukan korupsi dan kepastian bahwa hakim akan memberikan hukuman yang mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.

Satu penjelasan teoritik tentang peran membuat malu pada pelaku kejahatan untuk tujuan mengintegrasikan kembali dirinya dengan masyarakat. Penjelasan teoritik tersebut disebut Reintegrative Shaming. Pelaku kejahatan cukup dibuat malu namun ditujukan untuk membuat dirinya dan masyarakat sadar atas kesalahan yang telah dilakukan. Dalam konteks tipologi kejahatan, memang tidak semua jenis kejahatan dapat dipulihkan dengan cara ini.

Berkebalikan dengan reintegrative shaming, ada pula upaya membuat malu yang tidak ditujukan untuk reintegrasi pelaku, yaitu stigmatisasi. Dalam hal ini pelaku kejahatan cukup hanya dibuat malu dan lebih jauh dari itu juga menciptakan "rasa sakit" secara psikologis. Stigmatisasi secara simbolik juga memperlihatkan penolakan masyarakat bagi pelaku kejahatan.

2. Reaksi Informal

Reaksi informal yang dilakukan bukan oleh aparat penegak hukum tetapi oleh warga masyarakat biasa. Masyarakat biasa di samping telah mendelegasikan haknya kepada aparat penegak hukum berhak saja bereaksi terhadap kejahatan dan penjahat sebatas mereka tidak melanggar peraturan yang ada.

Dalam kasanah kriminologi, reaksi informal dari masyarakat itu lebih dikenal sebagai tindak kontrol sosial informal. Studi-studi memperlakukan beberapa aspek dari kontrol sosial informal pada tingkat komunitas ketetanggaan yang digunakan untuk membangun tipologi dari definisi operasional dari kontrol sosial informal. Definisi operasional ditemui dalam dua dimensi yaitu; bentuk dan tempat

2.2. Hubungan Kejahatan dan Masyarakat

Mempelajari kejahatan haruslah menyadari bahwa pengetahuan kita tentang batasan dan kondisi kejahatan didalam masyarakat mempunyai sifat relative. Relativisme kejahatan tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek, yakni adanya ketertinggalan hukum karena perubahan nilai sosial dan perkembangan perilaku masyarakat, adanya perbedaan pendekatan tentang kejahatan --di mana di satu sisi memakai pendekatan legal dan di sisi lain memakai pendekatan moral-- serta adanya relativisme dilihat dari sisi kuantitas kejahatan.

Adanya kejahatan di dalam masyarakat antara lain menimbulkan gejala fear of crime dari anggota masyarakat. Fear of Crime sendiri diartikan sebagai kondisi ketakutan dari anggota masyarakat yang potensial menjadi korban kejahatan atau merasa dirinya rentan dalam hal dikenai ancaman kejahatan atau kejahatan. Jadi sebenarnya fear of crime itu sangat perceptual (tergantung bagaimana individu yang bersangkutan mengukur kerentanan dirinya untuk menjadi korban kejahatan).

Analisis risiko menjadi penting dalam memahami hubungan antara pelaku dan korban dalam terjadinya suatu kejahatan. Dalam penilaian risiko dapat digambarkan hubungan antara korban dan gaya hidupnya yang akhirnya membawa pelaku kejahatan kepada korban. Namun masalahnya adalah tidak semua pihak yang terviktimisasi menyadari bahwa mereka sebenarnya merupakan korban dari suatu kejahatan.

Untuk lebih terperinci dan jelas mengenai kejahatan kaitannya dengan masyarakat kita dapat mengacu pada Teori Tempat Kejahatan dan Teori Aktivitas Rutin,

Hasil pengamatan Shaw, McKay dan Stark menunjukkan bahwa kejahatan tidak akan muncul pada setiap masalah sosial yang ada namun kejahatan akan muncul andai kata masalah sosial tertentu mempunyai kekuatan yang mendorong aspek-aspek kriminogen.

Teori Stark tentang tempat kejahatan memberi beberapa penjelasan tentang mengapa kejahatan terus berkembang sejalan dengan perubahan/perkembangan di dalam populasi. Para ahli yang mengkaji tradisi disorganisasi sosial sudah sejak lama memusatkan perhatian pada tiga aspek korelatif kejahatan ekologis, yaitu kemiskinan, heterogenitas kesukuan, dan mobilitas permukiman. Tetapi aspek korelatif tersebut, saat ini, sudah diperluas lagi untuk menguji dampak dari faktor tambahan seperti keluarga, single-parent, urbanisasi, dan kepadatan structural.

Stark memberlakukan lima variabel yang diyakini dapat mempengaruhi tingkat kejahatan di dalam masyarakat, yakni kepadatan, kemiskinan, pemakaian fasilitas secara bersama, pondokan sementara, dan kerusakan yang tidak terpelihara. Variabel tersebut dihubungkan dengan empat variabel lainnya, yakni moral sisnisme di antara warga, kesempatan melakukan kejahatan dan kejahatan yang meningkat, motivasi untuk melakukan kejahatan yang meningkat, dan hilangnya mekanisme kontrol sosial.

Teori Aktivitas Rutin menjelaskan bahwa pola viktimisasi sangat terkait dengan ekologi sosial. Studi yang dilakukan menunjukkan secara jelas hubungan antara pelaku kejahatan, korban, dan sistem penjagaan.

2.4. Penjelasan Teori Struktur Sosial Tentang Kejahatan

Di dalam khasanah Kriminologi terdapat sejumlah teori yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok teori yang menjelaskan peranan dari faktor struktur sosial dalam mendukung timbulnya kejahatan, antara lain;

1. Teori Belajar Sosial

Teori Differential Association dari Sutherland, pada pokoknya, mengetengahkan suatu penjelasan sistematik mengenai penerimaan pola-pola kejahatan. Kejahatan dimengerti sebagai suatu perbuatan yang dapat dipelajari melalui interaksi pelaku dengan orang-orang lain dalam kelompok-kelompok pribadi yang intim. Proses belajar itu menyangkut teknik-teknik untuk melakukan kejahatan, motif-motif, dorongan-dorongan, sikap-sikap dan pembenaran-pembenaran argumentasi yang mendukung dilakukannya kejahatan.

2. Teori Kontrol Sosial

Teori Kontrol Sosial menyatakan bahwa ada suatu kekuatan pemaksa di dalam masyarakat bagi setiap warganya untuk menghindari niat melanggar hukum. Dalam kaitan ini ada beberapa konsep dasar dari Kontrol Sosial yang bersifat positif, yakni Attachment, Commitment, Involvement, dan Beliefs, yang diyakini merupakan mekanisme penghalang bagi seseorang yang berniat melakukan pelanggaran hukum.

3. Teori Label

Munculnya teori Labeling menandai mulai digunakannya metode baru untuk mengukur atau menjelaskan adanya kejahatan yaitu melalui penelusuran kemungkinan dampak negatif dari adanya reaksi sosial yang berlebihan terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan. Konsep teori labeling menekankan pada dua hal, pertama, menjelaskan permasalahan mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi label, dan kedua, pengaruh dari label tersebut sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku kejahatan.

teori Anomie, teori Frustrasi Status dan Formasi Reaksi, teori Struktur Kesempatan Berbeda dan penjelasan tentang hubungan antara Kondisi Ekonomi dan Kejahatan.

4. Teori Anomie

Teori Anomie dari Merton menjelaskan aspek ketiadaan norma dalam masyarakat karena adanya jurang perbedaan yang lebar antara aspirasi dalam bidang ekonomi yang melembaga dalam masyarakat dengan kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh struktur sosial kepada warga masyarakatnya untuk mencapai aspirasi tersebut.

5. Teori Frustrasi Status dan Formasi Reaksi, teori Struktur Kesempatan Berbeda.

Pada dasarnya menjelaskan aspek subkebudayaan yang terdapat dalam kebudayaan induk (dominan) masyarakat tertentu, yang karena muatan nilai dan normanya yang bertentangan dengan kebudayaan induk (dominan) tersebut, dapat menimbulkan suatu pola perilaku kriminal.

perkara HAM?

Perasaan keadilan masyarakat yang terungkap dalam acara penguburan tersebut – yang nota bene: tidak hanya dihadiri oleh orang Papua asli – dapat menjadi energi pencarian kebenaran bagi segala pihak yang ingin mengungkapkan kebenaran. Perasaan keadilan masyarakat perlu disalurkan dalam kerangka hukum positif. Untuk itu sejumlah fakta yang bisa menjadi indikasi awal untuk menunjukkan apakah kasus tersebut merupakan pidana biasa atau pelanggaran HAM:

  1. Reaksi masyarakat internasional yang menyatakan keprihatinannya dan mendesak pemerintah untuk melakukan pengungkapan fakta secara jujur dan adil seperti dinyatakan oleh Forum Pasifik Selatan (13 November), Uni Eropa (17 November), Anggota-anggota Kongres Amerika Serikat (21 November), Duta Besar Selandia Baru (11 Desember).
  2. Tuntutan yang berkembang di tengah masyarakat Papua bahwa kasus tersebut harus diselidiki oleh Tim Penyelidik Independen yang memiliki kekuatan hukum dan kewibawaan yang amat tinggi seperti a.l. diungkapkan dalam demo di kantor Gubernur Papua (11-12 Desember).
  3. Pengiriman Tim Pencari Fakta Komnas HAM untuk melakukan pemantauan (3-5 Desember) meski ditolak oleh Para Pemimpin Agama di Papua karena tidak sesuai tuntutan berbagai komponen masyarakat (4 Desember)
  4. Tanggapan Komisi II DPR-RI yang mengadakan dengar pendapat dengan Kapolri dan Kapolda Irja mengenai kasus tersebut (4 Desember) dan meminta penjelasan lanjutan (11 Desember)

Fakta-fakta di atas –yang masih akan terus bertambah— menunjukkan bahwa kasus Theys sulit ditampung dalam kerangka hukum pidana biasa. Dengan pengiriman tim penyidik Mabes Polri dan Rakor Polkam, penyelenggara negara mengakui (secara de facto) dalam tindakan aparatnya (mabes Polri dan rakor polkam) bahwa kasus Theys merupakan kasus politis yang memiliki implikasi luas di tingkat negara karena menyangkut kekuasaan penyelenggara negara. Hal ini diperkuat dengan tanggapan masyarakat Internasional mengenai penculikan dan pembunuhan Theys.

Dengan mengakui dalam tindakan, penyelenggara negara menyatakan pertanggungjawabannya dalam kasus Theys sehingga kasus Theys tidak dapat dimasukkan dalam ordinary crimes yang menjadi bidang pidana biasa/ kriminal murni melainkan extra-ordinary crimes yang menjadi bidang dari pengadilan HAM.

Di bidang pengadilan HAM, perkara yang diadili bukan sengketa antara orang dengan orang lain melainkan antara penyelenggara negara dengan warganegara. Kasus Theys hanya bisa ditempatkan dalam kerangka kebijakan pemerintah Indonesia dalam menangani konflik vertikal yang terjadi di Papua. Karena itu alat untuk memeriksa perkara tersebut adalah perangkat hukum Hak asasi manusia yang di Indonesia dirumuskan dalam UU No. 26/ 2000 tentang Pengadilan HAM yang banyak mengambil alih ketentuan-ketentuan dari Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional.

Dalam kerangka pengadilan HAM

Dalam wacana pengadilan HAM biasa dipakai tiga acuan penting: (1) Pengadilan Internasional untuk Yugoslavia 1993 (International Tribunals for the Former Yugoslavia/ ICTY) (2) pengadilan internasional untuk Rwanda 1994 (International Criminal Tribunal for Rwanda/ ICTR), dan (3) Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional. Ketiganya menjadi rujukan bagi UU No. 26/ 2000 tentang pengadilan HAM terutama yang ketiga.

Pengadilan HAM menangani empat pelanggaran berat HAM : genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan agresi, dan kejahatan perang. Dari empat kategori tersebut, kasus Theys coba dianalisis dengan kategori kedua: kejahatan terhadap kemanusiaan. Menurut UU No. 26/2000 pasal 9 Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah “salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil…”

Unsur-unsur yang paling penting : serangan yang ditujukan secara langsung pada penduduk sipil dan bagian dari kebijakan negara. Jenis tindakannya berupa pembunuhan.

Dalam penjelasan UU No. 26/2000, definisi pembunuhan mengambil definisi yang dirumuskan dalam pasal 340 KUHP. ICTR merumuskan tindak pidana pembunuhan secara lebih tegas (Simon Chesterman, “An altogether different order: defining the elements of crimes against humanity”, dalam: Duke Journals of Comparative and International Law, No. 10, th. 2000, hlm. 307-327.):

Pembunuhan dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan kepada penduduk sipil. Korban haruslah anggota penduduk sipil tersebut. Korban dibunuh karena dia mengalami diskriminasi atas dasar kebangsaan, suku, ras, keyakinan politis atau agama.

Berdasarkan kerangka hukum Pengadilan HAM di atas, dalam kasus Theys dapat ditemukan unsur-unsur berikut:

  1. kebijakan penanganan masalah Papua oleh pemerintah Indonesia yang terus menerus mengedepankan pendekatan militeristik yang terbukti dalam dokumen-dokumen tertulis maupun deretan perkara pelanggaran HAM yang tidak pernah diajukan ke muka pengadilan. Kebijakan baik tertulis maupun tidak tertulis inilah yang menjadi kerangka utama untuk menempatkan kasus penculikan dan pembunuhan Theys dalam kacamata kejahatan terhadap kemanusiaan.
  2. serangan (penculikan dan pembunuhan) tersebut patut diduga menggunakan fasilitas negara atau sekurang-kurangnya dibiarkan menggunakan fasilitas negara mengingat terdapat pos-pos militer yang berada di jalur yang dilalui mobil Theys atau korban lain dari serangan tersebut, yakni sopir Theys yang menurut para saksi kembali ke markas TNI Kopassus (aparat negara) dan sesudahnya tidak diketahui kabarnya, tidak mendapatkan perlindungan sepatutnya dari aparat negara.
  3. nyata-nyata menjadi perhatian penyelenggara negara di tingkat tertinggi (rakor polkam dan mabes Polri).
  4. Theys dibunuh bukan karena sengketa pribadi melainkan karena keyakinan politiknya yang berbeda dan dianggap makar oleh pemerintah Indonesia terbukti dari proses persidangan yang sedang berlangsung.
  5. Theys bukan anggota kepolisian atau militer melainkan penduduk sipil yang mati sebagai korban dari serangan yang secara langsung terarah kepadanya karena didiskriminaskan atas dasar keyakinan politis.

Berdasarkan analisis ringkas di atas, kasus Theys merupakan pelanggaran berat HAM yang digolongkan sebagai tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) sehingga harus ditangani dengan UU No. 26/ 2000 tentang Pengadilan HAM. Karena itu pilihan jalur hukumnya adalah Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) yang dibentuk oleh Komnas HAM bukan DPR-RI atau pemerintah mengingat yurisdiksi UU No. 26/ 2000 yang mengaturnya.

Lebih dari itu, dengan Amandemen kedua pasal pasal 28I ayat 4 UUD 1945 pemerintah atas nama negara diberi mandat untuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi hak asasi manusia. Oleh karenanya, Pemerintah Pusat bertanggung jawab untuk segera menghentikan politik kekerasan di Papua a.l. dengan mengungkapkan perkara penculikan dan pembunuhan Ketua Presidium Dewan Papua. Setiap kegagalan dan kelalaian pemerintah untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi warga negaranya merupakan pelanggaran konstitusi.

J. Budi Hernawan ofm

Anggota Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM Papua

Bekerja pada Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura


MODUL 6 Lingkungan Sosial dan Kejahatan

Kegiatan Belajar 1 :

Teori Zona Konsentrasi

Park yakin benar bahwa kota dapat digunakan sebagai bahan pustaka untuk mempelajari kejahatan. Karena kota merupakan suatu organisme sosial tempat di mana masyarakat ketetanggaan dapat bertahan. Persoalannya, mengapa kejahatan berkembang dan meluas dalam daerah tertentu sementara di daerah lain kejahatan tidak berkembang. Atas hal ini, Park dan koleganya Burgess merujuk pada konsep zona konsentrasi menurut pekerjaan penduduknya dan karakteristik kelas. Mereka mencermati bagaimana zona perkotaan berubah dari waktu ke waktu dan apa dampak dari proses perubahan tersebut bagi tingkat kejahatan.

Park dan Burgess menunjukkan bahwa zona transisi adalah sumber utama kejahatan perkotaan. Pada zona ini, dapat ditemui tingkat kenakalan remaja yang tinggi dan berbagai masalah sosial lainnya. Memahami bentuk, sifat atau karakter kejahatan perkotaan akan memberi kemungkinan bagi kita untuk mengetahui ciri-ciri kejahatan perkotaan. Atas dasar itu, dapat dirumuskan berbagai kebijakan untuk melakukan pencegahan maupun penaggulangannya.

Sepanjang kejahatan perkotaan diartikan sebagai perbuatan yang dapat dipidana menurtut perundang-undangan yang berlaku, maka secara umum tidak ada perbedaan yang mendasar antara kejahatan perkotaan dengan kejahatan yang bukan kejahatan perkotaan, atau kejahatan pada umumnya. Pencurian, pembunuhan, penganiayaan, penipuan, penggelapan, perkosaan dapat terjadi di mana saja. Namun harus diakui bahwa ada pula bentuk-bentuk kejahatan tertentu yang hanya mungkin terjadi atau sekurang-kurangnya dipermudah oleh lingkungan perkotaan.

Tanpa mengurangi adanya karakter khas seseorang, secara umum dapat dikatakan bahwa dorongan untuk melakukan kejahatan tidak semata-mata karena memang tersimpan tingkah laku jahat, tetapi juga ada faktor-faktor nilai, keadaan dan lingkungan yang tak jarang justru menjadi faktor yang sangat berperan untuk mempengaruhi seseorang melakukan kejahatan.

Kegiatan Belajar 2 :

Kejahatan Tertentu dalam Konteks Struktur Sosial

Struktur sosial dalam masyarakat dapat menyebabkan munculnya beberapa kejahatan tertentu. kejahatan itu sebenarnya didukung oleh perbedaan struktur sosial itu sendiri. Pemahaman dan persepsi yang salah oleh kelompok tertentu yang berada di dalam struktur sosial dapat menyebabkan dilakukannya perbuatan tertentu yang dapat digolongkan sebagai kejahatan, yang menurut orang yang bersangkutan dimungkinkan dan dibenarkan karena dirinya berada dalam struktur sosial dimaksud. Beberapa kejahatan tersebut antara lain white collar crime dan domestic violence.

Secara harafiah white collar crime diartikan sebagai ‘kejahatan kerah putih’. White collar crime adalah kejahatan yang melibatkan orang yang terhormat dan dihormati serta berstatus sosial tinggi (Sutherland dan Cressey, 1960). Versi lain mengatakan bahwa “kejahatan orang berdasi” adalah penyalahgunaan kepercayaan oleh orang yang pada umumnya dipandang sebagai warga yang jujur dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Domestic Violence atau kekerasan dalam rumah dapat adalah kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga. Rumah Tangga, dapat diartikan sebagai tempat semua orang yang tinggal di bersama di satu tempat kediaman. Dalam perkembangannya, rumah tangga ini dapat berupa wadah dari suatu kehidupan penghuninya yang bisa saja terdiri dari berbagai status, seperti suami istri, orangtua dan anak; orang yang mempunyai hubungan darah; orang yang bekerja membantu kehidupan rumah tangga, orang lain yang menetap di sebuah rumah tangga; orang yang hidup bersama dengan korban atau mereka yang masih atau pernah tinggal bersama.

Kejahatan Kerah Putih dan Kejahatan Terorganisir

Perilaku kejahatan profesi adalah kejahatan yang terkait dengan pekerjaan tertentu. Pelakunya tidak menganggap dirinya sebagai penjahat dan dapat merasionalisasi tindakannya sebagai bagian dari pekerjaan normal mereka. Beberapa jenis profesi atau sebuah kelompok dalam profesi dapat mentolerir atau bahkan mendukung pelanggaran-pelanggaran. Karena dilakukan oleh orang-orang terhormat dalam masyarakat, reaksi masyarakat biasanya tidak begitu besar, tetapi masyarakat biasanya sedikit toleran terhadap kejahatan jenis ini.

Perilaku kejahatan konvensional disebut juga sebagai kejahatan jalanan. Pelaku memulai kariernya sejak usia dini dalam kehidupannya, seringkali dengan keterlibatannya dalam geng. Mereka biasanya terjepit di antara nilai-nilai masyarakat konvensional dan suatu subkebudayaan kejahatan. Sebagian di antara mereka melanjutkan kariernya dalam dunia kejahatan, sementara sebagian lainnya meninggalkan kejahatan setelah melewati masa kanak-kanaknya. Mereka mengalami akumulasi penangkapan dan hukuman bagi kejahatan-kejahatannya dan seringkali mengalami penderitaan akibat sanksi legal.

Penjahat terorganisasi atau sindikat kejahatan melakukan kejahatan sebagai jalan hidup. Pada tingkatan rendah dari sindikat kejahatan ini, para pelaku mengkonsepkan dirinya sebagai penjahat dan terisolasi dari masyarakat lainnya. Pada tingkat atas, anggota sindikat kejahatan berhubungan dengan anggota masyarakat lainnya, seperti politikus dan pengacara. Sindikat kejahatan ini menyediakan jasa pelayanan dan barang-barang ilegal yang dibutuhkan oleh anggota masyarakat normal. Masyarakat umum bisa toleran terhadap bentuk kejahatan seperti ini, khususnya karena jasa pelayanan yang diberikan terhadap masyarakat dan juga karena sulitnya mengatasi masalah sindikat kejahatan ini.

Para penjahat profesional melakukan kejahatan sebagai cara hidup. Mereka mengkonsepsikan dirinya sebagai penjahat dan merasa bangga terhadap keahlian dan kejahatan-kejahatan yang telah mereka lakukan. Mereka berhubungan dengan penjahat lain dan menikmati status di antara penjahat lainnya. Penjahat profesional atau tidak profesional dapat saja melakukan kejahatan yang sama, tapi penjahat profesional lebih piawai. Penjahat profesional mempunyai catatan kejahatan yang panjang, tidak hanya karena ia mahir melakukan kejahatannya dan bahkan dapat mengelabui polisi, tapi juga karena banyak yang kejahatannya dapat diproses dalam sistem peradilan

Habsjah, A., dan Oetoyo, K., Hasil Kajian Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga, tanpa tahun, tanpa penerbit.

Harkrisnowo, H, Wajah Tindak Kekerasan Pada Perempuan di Indonesia (tinjauan dari segi kriminologi dan hukum), dalam Menuju Kemitraan Pemerintah LSM Dalam Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan, hal 29-30, tanpa tahun.

Hayati, E.N (2003). Karakteristik Perempuan Korban Kekerasan, Makalah disusun untuk Pelatihan Konselor yang diadakan oleh Mitra Perempuan, Jakarta, tgl. 4 6 September 2001, Jakarta 13 16 February 2003

Heath, A. (1987). Prinsip Pertukaran Sebagai Suatu Dasar Untuk Penelitian Hukum, dalam Pendekatan Sosiologis terhadap Hukum, ed. Adam Podgorecki & Christopher J. Whelan, PT Bina Aksara, Jakarta.

United Nations General Assembly. (1993). Deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Disetujui pada Pertemuan Paripurna ke 85, Geneva, tanpa penerbit.

Pembasan:
Maraknya pembunuhan sadis dengan mutilasi, dan yang paling menarik adalah biasanya sering terlihat dalam kejahatan Asusila seperti pornografi dan perkosaan.
Media sebagai potensi pemicu timbulnya kejahatan di masyarakat.
Realitas kriminalitas cenderung meningkat selama beberapa periode ini terutama pada tahun lalu yakni 2008 dan kritik pedas pun di lontarkan kepada media dalam hal ini media massa (mass media) terutama mengenai masalah sajian tentang kekerasan dalam hal ini adalah berita berpengaruh pada publik dan juga kepada anak-anak.
Jika pada anak-anak efeknya bisa langsung, pada orang dewasa efeknya tertunda. Tayangan kriminalitas yang umumnya sebagian televisi swasta menayangkan vulgar memang berpotensi besar di initasi oleh orang dewasa saat diberada dalam kondisi yang sama. 1
Maraknya kasus pembunuhan disertai mutilasi pada tahun2008 boleh dikatakan sebagai fakta bahwa indikasi terjadinya proses peniruan melalui tayangan-tayangan dimedia massa, menurut Erlangga proses peniruan publik tersebut merujuk pada teori sosiolog asal Prancis, Gabriel Tarde, yang menyebut perilaku dalam masyarakat akan selalu saling tiru, tak terkecuali dalam hal perilaku kriminalitas. Artinya dalam proses peniruan itulah media massa bisa dikatakan sebagai fasilitator. Realitas nyata saja bisa terlihat melalui media televisi dimana televisi semakin bersaing dalam menayangkan informasi yang bertopik informasi kriminal ”tentu kecenderungan ini adalah kaitannya dengan faktor ekonomis persaingan media dalam hal penyuguhan content atau isi siaran terhadap khalayak atau penonton ada pepatah menarik dikalangan pengusaha media yakni ”siapa yang lebih berani dia yang menang” tentunya makna pepatah ini memang terlihat logis namun tentu sangat berdampak manakala asumsi berani dalam pepatah tersebut tidak mengedepankan aturan atau etika dalam penyiaran. Bahasa sederhananya adalah : siapa yang suguhannya terkesan vulgar dan berani tentu masyarakat akan semakin menyukai terhadap sajian tersebut. Persoalannya adalah ketika sajian itu ditayangkan dalam kondisi nyata dan vulgar maka sudah pasti orang yang menyaksikan tentu mempunyai opini terhadap tayangan tersebut bahkan opini tersebut bisa membentuk pada perbuatan atau perilaku seseorang setelah menyaksikan tayangan tersebut. Parahnya perbuatan tersebut bisa ”sama” bisa juga ”melebihi” apa yang digambarkan dalam tayangan tersebut.
Kasus Sri Rumiyati (48)2misalnya adalah fakta dari sekian tindak kejahatan pembunuhan sadis yang boleh dikatakan akibat terinspirasi oleh tayangan media hal ini dipertegas setelah dalam pemberitaan Rumiyati bertutur bahwa. 21 memutilasi pak hendra dikarenakan meniru Ryan, terutama dari tayangan televisi selain dari koran yang saya beli diangkot. ”Daripada repot, untuk menghilangkan jenazahnya, saya potong-potong saya Pak Hendra seperti yang dilakukan Ryan” tuturnya seperti dalam pemberitaan yang penulis kutip melalui internet.
Hal tersebut diatas menurut penulis jelas memungkinkan terjadi sebab logikanya jelas ketika membunuh pelaku pasti ”Panik” dan berfikir akan berbuat apa dan Asumsinya pada saat kejadian tersebut sangat mungin pelaku merujuk kepada peniruan seperti tayangan kriminal dimedia artinya sangat relevan bila seorang Sri Rumiyati setelah membunuh kemudian memotong-memotong jasad korbannya untuk meninggalkan jejak dan menghilangkan kepanikan medianya adalah melalui perbuatan yang seperti dilakukan oleh Ryan yang juga membunuh dengan memutilasi korbannya.
Pakar kedokteran korensik RSCM Dr. Mun’im Idris dalam paparannya melalui situs ocezone, com mengatakan bahwa kasus mutilasi bisa terjadi karena bermacam-macam karena dendam, amarah atau hal lain yang melatar belakanginya, namun ide memutilasi korban baru ada ketika sudah terjadi pembunuhan dengan tujuan utama menghilangkan jejak. Cara ini diyakini diilhami dari kasus serupa sebelumnya banyak diekspos di media massa. Artinya sangatlah besar potensi media massa sebagai pemilu terjadinya tindak kejahatan di masyarakat walaupun media mempunyai hak penuh atas informasi di tengah masyarakat namun dalam konteks pemberitaan mengenai kriminalitas atau tayangan-tayangan yang berbau kekerasan hendaklah para jurnalis/pewarta dan pengelola. Media melihat kepada faktor-faktor atau atau dampak yang akan terjadi sebab media jangan sampai menjadi faktor kriminogen atau penyebab terjadinya kejahatan manakala media adalah sebagai fungsi informasi yang mendidik, sosial, kontrol dan hiburan ditengah masyarakat.
Dalam hukum pidana pers penayangan berita kriminal adalah tergolong bagian dari kebijakan kriminal, artinya adalah proses dalam menanggulangi kejahatan dengan sarana media massa, upaya penanggulangan kejahatan itu dapat ditempuh dengan penerangan hukum pidana (criminal law application), pencegahan tanpa pidana (prevention without purishment) dan mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (Influencing viws of society on crime and punishment/mass media).
Jika disimpulkan bahwa tayangan berita kriminal dalam hukum pidana pers adalah merupakan upaya atas penanggulangan dan pencegahan terhadap kejahatan. Dengan begitu bisa dilihat melalui berita kriminal masyarakat bisa melihat bagaimana cara kepolisian dan penegak hukum dalam menerapkan hukum pidana, juga memang bisa membuat masyarakat melakukan upaya pencegahan terhadap kejahatan juga mendapat pengetahuan akan kejahatan melalui media massa. Artinya memang menayangkan berita atau sajian kriminal di media massa adalah bukan sebagai sesuatu yang melanggar hukum karena bisa memberi informasi kepada masyarakat luas akan tetapi konten atau isi siaran pada tayangan kriminalitas bukan pada tayangan yang ”vulgar” dengan kekerasan, atau pembunuhan dengan kemasan yang ”bebas” di pertontonkan ke tengah khalayak namun lebih mengedepankan perspektif informasi disertai dengan edukasi atau siaran yang lebih mendidik pada masyarakat dalam konteks berita-berita kriminalitas di media massa. Akibatnya jika informasi tersebut dapat berdampak positif maka tingkat kejahatan paling tidak terminimalisir dan citra penegakan hukum kita akan baik dimata masyarakat serta dunia internasional.
Paul Johnson seperti di tuangkan dalam refrensinya Dr. Idri Shaffat, M.Ag. 16 Bahwa praktik pers menyimpang atau disebut sebagai tujuh dosa pers (seven Deadly Sins ; tujuh dosa yang mematikan bahwa tujuh dosa terberat pers adalah : (1) Distorsi Informasi, (2). Dramatisasi fakta (3) serangan privacy, (4); pembunuhan karakter, (5). Eksploitasi seks untuk meningkatkan eksploitasi seks untuk meningkatkan sirkulasi atau rating (6), meracuni benak atau pikiran anak dan (7) penyalah gunaan kekuasaan. Ketujuh dosa pers – atau lebih tepatnya : penyimpangan pers (diviasi). Tersebut disebabkan karena pers tak bertanggung jawab pers yang senjata menyalahgunakan menyelewengkan informasi dengan mengubah, menambah, atau mengurangi dan beropini terhadap fakta.
Pers yang melebih-lebihkan peristiwa atau bahkan mengarang fakta atau jika terdapat fakta dibumbui dengan ilustrasi verbal bahkan vulgar. Dalam media cetak melalui narasi atau melalui sajian foto dan gambar tertentu dalam media elektronika dramatisasi ini dilakukan dengan tehnik pengambilan gambar. Penyimpangan pers ini di samping mengurangi akurasi berita, merugikan seseorang, mengandung pornografi, juga melanggar hak privasi seseorang dan berpotensi menimbulkan tindak kejahatan di masyarakat melalui proses peniruan atas informasi oleh media massa.
Umumnya penyimpangan-penyimpangan pers dilakukan oleh media-media tabloid sensasional dalam peliputan kriminal, peliputan kalangan selebritis dan ka—elite, atau media baru yang ingin sekedar menjual ”kertas koran” dan ingin tetap bertahan” dengan berbisnis media.
Media semacam itu haus sensasi dan selalu berupaya mengendus skandal, khususnya skandal seks, dengan menempatkan di head-line atau halaman depan surat kabar supaya menarik konsumen untuk membelinya. Penyimpangan oleh media pers dengan segala bentuknya mengandung arti bahwa pers tidak lagi mematuhi regulasi peraturan perundang-undangan ataupun kode etik jurnalistik. Penyimpangan pers termasuk dalam kategori kejahatan(delik) pers. Dalam KUH pidana pasal 483 dijelaskan; 1 bahwa barang siapa menerbitkan suatu gambar atau tulisan yang karena sifatnya dapat dikenakan pidana diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana kurungan paling lama satu satu tahun empat bulan atau pidana kurungan paling lama satu atau pidana-pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Penyimpangan-penyimpangan pers, sebagaimana disebutkan dalam kode etik jurnalistik, antara lain; menyiarkan berita, tulisan atau gambar yang menyesatkan, yaitu berita yang disampaikan membinggungkan, meresahkan, membodohi, atau melecekkan kemampuan berpikir masyarakat.
Pornografi termasuk penyimpangan pers yang harus dihindari, bahkan lebih dari itu ia adalah merupakan kejahatan (delik) Asusila. Seks dan penyimpangannya tidak boleh dipaparkan secara ”Vulgar” dalam koran atau majalah karena disamping dapat melukai ”perasaan korban dan keluarganya juga dapat menjadi motivator pembaca untuk melakukan ”perbuatan Asusila”.
Disamping itu pemaparan seks, diantaranya tubuh wanita telanjang, atau semi telanjang akan dapat merusak kepribadian bangsa yang sopan dan santun. Sebab arus informasi dapat membawa perubahan sikap, kebiasaan cara berpikir, dan bahkan kadang-kadang terjadi kejutan dan benturan budaya. Pornografi dalam kode etik jurnalistik disebut cabul; yaitu penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis, atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan birahi dan KUHP hal ini dikenakan pasal 282 (KUHP).
Berita yang mengandung sensasi yang berlebihan, yaitu gambaran yang melebihi kenyataan, bisa menyesatkan dikalangan masyarakat, berita sensasional adalah berita yang terkesan menjijikkan, misalnya; berita perbuatan seks yang merangsang nafsu birahi, kebiasaan individu yang aneh dan kotor, pembunuhan sadis dan sebagainya. Dilihat dari perspektif ini berita sadis, berita yang mengandung kekejaman dan kengerian juga tidak jarang berdampak negatif. Menurut Jiry wilson, ”bisa jadi media kusus para penjahat atau calon penjahat”.
Penyimpangan pers lainnya adalah pemaparan berita yang mengandung pemaparan atau renodaan terhadap agama, pelaku penodaan terhadap agama dikenai hukuman dalam pasal 156a KUH pidana. Secara singkat penyimpangan-penyimpangan pers dapat terjadi dalam bentuk;
1. membuat karya jurnalistik yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan negara persatuan dan kesatuan bangsa, menyinggung perasaan agama. Kepercayaan atau keyakinan suatu golongan yang dilindungi Undang-Undang.
2. membuat berita bohong, memutar balikkan fakta bersifat fitnah, sadis, cabul serta sensasional.
3. menerima imbalan (suap) yang dapat mempengaruhi obyektifitas pemberitaan dan menyalahgunakan profesi.

4. Menyajikan berita tidak secara berimbang atau akurat.
5. tidak menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
6. tidak menghormati hak narasumber untuk memberi informasi, latar belakang, off the record darembargo.
7. menulis atau menyiarkan berita atas dasar prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku ras, warna kulit, agama, dan jenis kelamin serta merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau jasmani.
8. tidak segera mencabut atau meralat berita yang keliru dan memperbaikinya disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
9. tidak melayani hak jawab dan hak koreksi, kesepuluh tidak menjaga kerahasiaan sumber indormasi konfidensial, identitas korban kejahatan seksual, dan pelaku terpidana dibawah umur.
Masing-masing penyimpangan mendapat sanksi baik berdasarkan ketentuan perundang-undangan ataupun kode etik jurnalistik.

I.Kesimpulan
Bertitik tolak dari paparan pembahasan pada makalah ini maka penulis menyampaikan satu pendapat atau kesimpulan, yakni :
1.Dalam interaksinya secara yuridis, kriminologis dan sosiologis ada keterkaitan antara media massa dalam hal ini pemberitaan (kriminalitas) dan timbulnya kejahatan yang terjadi ditengah masyarakat.
Artinya : potensi timbulnya tindak kejahatan dapat tergolong salah satunya akibat menyaksikan pemberitaan media massa dalam hak tayangan kriminalitas.
2.Melalui proses pembentukan prilaku oleh media massa ke dalam masyarakat atau publik melalui penyebaran informasi adalah satu fakta bahwa reaksi masyarakat bisa dipengaruhi oleh media massa.
Hubungan media massa dan kejahatan dapat digambarkan melalui teori yang melihat pada kondisi sosial masyarakat secara kriminologi dan sosiologis, proses peniruan tindak kejahatan akibat terpengaruh media massa adalah fakta empiris bahwa media sangat berkorelasi terhadap kejahatan bahkan bisa menjadi agen atas kejahatan tersebut.
3.Terdapat sebelas macam bentuk penyimpangan oleh pers yang dalam konteks hukum pidana dan kriminologi haruslah kita perhatikan terutama penyimpangan pers dan konteks pornografi dan berita-berita yang mengandung sensasi yang berlebihan atau gambaran melebihi kenyataan

Kejahatan Terhadap Ekonomi dan Keteraturan Politik

Perilaku kejahatan adalah sangat beragam, dapat dilakukan secara berkelompok atau sendiri-sendiri. Beberapa kejahatan itu melibatkan unsur kekerasan dan yang lainnya tidak, seperti yang terjadi dalam kejahatan pencurian. Kejahatan dapat dilakukan oleh orang-orang dari berbagai status dan kelas sosial berkaitan dengan pekerjaannya ataupun dilakukan secara berkelompok, seperti halnya organisasi guna mencapai tujuan organisasi. Penjahat berbeda-beda menurut identifikasi mereka kepada kejahatan dan penjahat lain, tingkat keterlibatannya dengan kejahatan sebagai perilaku, dan peningkatan dalam mengambil alih teknik-teknik dan norma-norma kejahatan.

Para pelaku kejahatan terhadap properti yang okupasional adalah pelaku kejahatan yang terkait dengan situasi tertentu. Mereka biasanya mendukung tujuan masyarakat yang umum dan mendapatkan sedikit dukungan bagi perilakunya dari norma-norma subkebudayaan. Kebanyakan mereka tidak meningkatkan karier kejahatannya dan reaksi masyarakat mencair bila pelaku tidak mempunyai catatan kejahatan sebelumnya.

Pemerintah membuat peraturan dan hukum guna melindungi kepentingan dan keberadaannya. Perilaku kejahatan yang melanggar hukum ini dianggap sebagai perilaku kejahatan politik. Peraturan hukum yang khusus mengatur suatu masalah misalnya hukum tentang konspirasi, sebagaimana halnya hukum tradisional dibuat untuk mengawasi dan menghukum mereka yang mengancam negara. Para penjahat politik tidak mengidentifikasi dirinya sebagai penjahat dan justru menganggap pemerintah yang diprotesnya sebagai penjahat. Pemerintah dalam hal ini dapat melakukan tindakan ilegal melalui agen-agen mereka. Kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah lebih sedikit mendapatkan hukuman dibandingkan pelaku kejahatan terhadap pemerintah.


makalah anak kelas 2A rehsos STKS Bandung angkatan 2008

2 komentar: